Rabu, 23 Mei 2012

gunung ile mandiri-Larantuka






3. Bencana Pada Komplek Gunung Ile Mandiri, Larantuka 1979
Longsoran atau gerakan tanah lereng gunung Ile Mandiri dan banjir di Larantuka tahun
1978-1979 merupakan cerita yang sulit didapatkan dan tidak muncul dalam berbagai
database bencana baik yang dikelolah oleh para kaum peduli bencana di NTT maupun
oleh database bencana global. Untuk peristiwa ini, memory lost dicegah oleh setidaknya
sebuah paper yang penulis temukan di Perpustakaan Badan Geologi Bandung yakni
Effendi dan Wirasuganda (1979). Sedangkan Elifas 1978 dan Prawirodisastro, et.al.
(1979) tidak ditemukan.
Gambar 4. Ilustrasi Eksposure Kota Larantuka Terhadap Longsoran/Banjir Dari Ile
Mandiri. (catatan: detail sketsa dan peta longsoran dan banjir bandang 1979 yang diolah
Effendi dan Wirasuganda (1979) tidak ditampilkan dalam paper ini)
Effendi dan Wirasuganda (1979) melaporkan bahwa total desa terkena dampak adalah 20
desa dengan 8 desa hancur, total 96 orang meninggal, 53 orang hilang, 157 luka parah,
and 197 luka ringan. Aset penghidupan yang hilang meliputi kehilangan 260 pohon
kemiri, 1,750 ha tanaman pangan serta 1200 tanaman kelapa rusak, serta843 ternak mati.
Total bangunan yang rusak berat 74 dan hancur 461 buah. Terdapat 14 bangunan publik
yang hancur. 8,750 pengungsi tercatat. Desa-desa tersebut terletak tepat pada jalur-jalur
banjir, 10 buah jalur cukup lebar dan 7 jalur kecil dan sempit. 3 buah jalur telah melanda
kota Larantuka dan sekitarnya. Effendi dan Wirasuganda (1979) mengklaim bahwa 50 %
kota larantuka hancur.18
Perubahan Demografi.
Dalam laporan Effendi dan Wirasuganda (1979) dikemukakan bahwa kepadatan
penduduk rata-rata adalah 93 jiwa/km.² Berdasarkan Flores Timur Dalam Angka 2008,
dengan data penduduk 2007, kepadatan penduduk Larantuka terlah meningkat menjadi
441.50. Tentunya, batasan administrasi 30 tahun lalu dan hari ini telah mengalami
perubahan yang besar, akibat berbagai serial pemekaran wilayah.
Observasi Effendi dan Wirasuganda (1979) menunjukan bahwa di lapangan diketahui
longsoran batu/tanah (debris avalnche) di Larantuka yang berasal dari tebing-tebing
dekat bagian puncak G. Mandiri tergolong jenis tanah dan batu yang bercampur dengan
air hujan berkumpul dalam alur-alur lembah, kemudian meluncur ke bawah sehingga
merupakan suatu banjir bandang. Parameter alamiah gerakantanah yang berpengaruh
meliputi morfologi lereng, kondisi geologis (jenis batuan, stratigafi dan struktur batuan),
curah hujan atau keairan, kegempaan dan penggunaan lahan dan vegetasi. Dari Logika
Westgate dan O’Keefe (1976), interaksi antara ke empat hal yang bersifat alamiah ini
ditambahkan faktor tindakan manusia, yakni kerentanan dalam bentuk penempatan asset,
infrastruktur, yang gampang terpapar (terekspos)19 pada jalur-jalur longsoran dan banjir,
maka bencana adalah niscaya tak terelakan.
Morfologi Lereng Ili Mandiri. Investigasi Effendi dan Wirasuganda menunjukan (lihat
juga gambar 4 dan 7) Ili Mandiri merupakan tebing curang hingga terjal. Pada bagian
lereng atas dan puncak G. Mandiri terdapat tutupan hutan tua dan lebat dengan sendirinya
menambah beban pada permukaan lereng terjal. Karena tanah penutupnya tipis maka
daya ikat pepohonan terhadap batuan dasarnya tidak kokoh.
Kondisi Geologis Ili Mandiri. “Pada bagian kaki gunung dengan daerah perbukitan
bergelombang menengah terdapat bahan rombakan (debris). Kemudian di dataran rendah
diendapkan bahan rombakan dan endapan aluvium, terdiri dari campuran bongkah batu,
kerikil, pasir dan lempung. Di kaki bagian timur komplek G. Mandiri di daerah rendah
dijumpai singkapan batu gamping terumbu yang berbentuk suatu punggungan kecil, Pada
mulut alur-alur terdapat endapan aluvium berbentuk kipas.” Lihat detail pada lampiran
oleh Effendi dan Wirasuganda (1979).
Faktor Curah Hujan. Berdasarkan oral history, banjir bandang seperti 27 Feb 1979 ini
pernah terjadi pada tahun 1908 dan 1938. Sedangkan banjir yang relatif lebih kecil terjadi
pada 26 Feb 1978. Hal ini terekam dalam laporan Effendi dan Wirasuganda (1979).
Curah hujan sebelum terjadi bencana tercatat sangat tinggi, yaitu dalam waktu kurang
lebih 3 jam mencapai 180 mm (lihat gambar 5). Keadaan ini memicu terjadinya
longsoran pada tebing lereng yang curam, dan kemungkinan terjadi banjir bandang.
Melihat akibat banjir bandang yang terjadi, nampaknya air permukaan dengan volume
yang begitu besar bukan hanya berasal dari air hujan pada waktu itu saja, tetapi harus
ditambah dengan air yang tertampung lama sebelumnya dan terkumpul pada lekukanlekukan
di alur-alur lembah. Analisis Effendi mengatakan bahwa terkumpul volume air
yang cukup besar itu hanya dapat terjadi apabila terdapat hambatan berupa
pembendungan alam (natural blockade). Bendungan alam terbentuk secara bertahap di
dalam alur-alur lembah (dengan lebar >100an meter) oleh akumulasi bahan-bahan
rombakan dari runtuhan batu/tanah bercampur dengan batang-batang kayu yang tumbang.
Argumentasi Effendi dan Wirasuganda (1979), kapasitas air terbendung menjadi
melimpah akibat konsentrasi hujan dalam waktu 3 jam sebesar 180mm, yang
menyebabkan volumenya bertambah dan terjadi limpahan melalui puncak (over topping)
yang dapat mengakibatkan bendung alam jebol atau hancur.20
Dalam konteks peringatan dini longsoran berbasis komunitas di Thailand, khususnya di
wilayah Uttaradit, masyarakat diberikan rain gauge ditiap komunitas dan angka 150
adalah angka pengambilan keputusan untuk tiap keluarga harus lari menyelamatkan diri
ke daerah aman. Untuk konteks Larantuka, angka empirik tersebut perlu ditemukan
secara memadai.
Faktor Gempa. Effendi dan Wirasuganda mencurigai gempa bumi yang terjadi pada
tanggal 4 November 1975 di komplek G. Mandiri dan kota Larantuka yang getaran
ikutannya terasa selama hampir dua minggu, diperkirakan telah mengubah ikatan struktur
batuan di daerah puncak G. Mandiri. Hal ini menimbulkan kerentanan lingkungan Ili
Mandiri yang mudah dipicu oleh akumulasi curah hujan jangka pendek dengan intensitas
tinggi.
Kerentanan – Faktor Eksposure. Umumnya pada mulut alur-alur ini dimanfaatkan
sebagai daerah perkampungan. Berada pada moncong-moncong aliran longsor dari Ili
Mandiri, membuat tingkat eksposur yang sangat tinggi (Lihat gambar 4 dan 7).
“Kedudukan lereng yang demikian akan mempengaruhi stabilitas lereng yang dibentuk
oleh perselingan antara batuan lava berkekar rapat dan breksi vulkanik lapuk. Karena
terjadinya perbedaan fisik antara kedua jenis batuan dan faktor lain yang menggangu
kestabilan lereng, maka proses runtuhan dapat terjadi sewaktu-waktu pada dinding lereng
tersebut. Gejala runtuhan batu/tanah terlihat di lembah-lembah alur sekililing G. Mandiri.
Bahan runtuhan pada bagian dinding lereng sekitar puncak masuk ke dalam lembah aluralur
yang ada. Bahan runtuhan ini kebanyakan terkumpul pada bagian datar undak-undak
di dalam alur-alur lembah, sehingga oleh waktu dapat terakumulasi dalam jumlah cukup
besar.”
Sekilas Tentang Trend Curah Hujan Bulanan Larantuka.
Diasumsikan kualitas data dalam 40 tahun terakhir kualitasnya sama untuk memudahkan
analisis ringkas dalam tulisan ini. Pembaca yang tidak datang dari spesialisasi keteknikan
mungkin bertanya mengapa kondisi tahun 1976 di mana komulatif curah hujan Januari
mencapai 907mm namun tidak terjadi fenomena yang sama dengan February 1978 (total
779mm) atau bahkan total komulatif curah hujan bulan Februari 1979 hanya mencapai
319 (lihat Gambar 5)? Yang perlu dicatat, data yang direkam hanya bersumber dari satu
stasiun pencatat curah hujan sehingga tidak memungkinkan membuat kesimpulan yang
memadai. Sebagai proxy analisis saja bahwa data curah hujan harian sebagaimana
ditampilkan dalam amatan bulanan (contoh gambar 5 di atas), untuk kasus 1976 maupun
1974-1975 namun bisa disimpulkan bahwa curah hujan tahunan yang tinggi ditahun 1976
dapat berkontribusi pada “penuhnya” bendungan-bendungan alam yang rapuh disekitar
Ile Mandiri (lihat gambar 7).
Dari Gambar 8, secara rata-rata curah hujan terbanyak terjadi dalam bulan November,
Desember, Januari, Februari dan Maret. Gambar 9 menunjukan rata-rata jumlah hari
hujan dalam setahun adalah 76 hari atau rata-rata 21% hari hujan dalam setiap tahun.
Walau terdapat data yang “missing” khusus periode 1979-2005, hal ini menjadi catatan
untuk penelitian lanjutan. Namun yang dihimpun disini bisa menjadi semacam gambaran
besar bahwa jumlah hari hujan di Larantuka cukup rendah dalam konteks Indonesia,
walau relatif lebih tinggi diantara dataran ujung Flores Timur seperti Wulang Gintang
dan Titihena, kecuali kepulauan Solor Timur yang cenderung lebih tinggi.
4. Kebijakan Publik dan Agenda Pemerintah di Flores Timur dan
Lembata
Karakter geologis dan morfologi Kabupaten Flores Timur (baik ujung Timur pulau
Flores, Pulau Adonara dan Solor) serta kabupaten Lembata adalah daerah yang cukup
dinamis. Sebagai misal, gempa 25 Desember 1982 yang hanya sebesar 5.1 SR dengan
kedalaman ± 33km mampu meruntuhkan (kategori rusak berat) bangunan sekolah di
Solor dan Adonara sebesar 14 unit, rumah ibadah 23 unit, sarana kesehatan 10 unit,
gedung pemerintah 9 unit, serta perumahan rakyat untuk rumah permanen rusak total 250
unit, semi permanen rusak total 256 unit dan rumah “darurat” 347 unit. Angka ini belum
termasuk ringan. Total gedung, bangunan dan rumah baik rusak ringan dan rusak berat
mencapai 2223 bangunan. Sebagian besar runtuh karena rentan terhadap gempa
sedangkan sebagian karena tertimbun longsor. (Sumber: Satkorlak Penanganan Bencana
Alam, Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur, lampiran pada Effendi dkk 1983)
Petikan singkat ini merupakan sebuah upaya membuka mata bahwa kerentanan fisik
infrastruktur maupun tingkat eksposur pada kejadian geologis seperti gempa di Flores
Timur dan Lembata merupakan agenda besar kebijakan publik. Jargon-jargon kepedulian
dari berbagai kalangan baik pemerintah maupun organisasi non-pemerintah tentang
pengembangan pulau-pulau kecil sebaiknya diberikan pencerahan tambahan khususnya di
daerah-daerah seperti Pulau Solor yang karakter geologisnya rentan terhadap goyangan
gempa kecil. Peristiwa gempa akan dalam skala yang sama maupun yang lebih besar
sangat mungkin terulang lagi. Tantangannya adalah bagaimana terciptanya kecerdasan
administrasi maupun kecerdasan kebijakan publik diadakan untuk mengurangi risikorisiko
yang secara aktual sunguh bisa diraba jauh hari sebelum malapetaka.
5. Kesimpulan
Interaksi antara berbagai faktor yakni dinamika gunung dan gunung api dari aspek fisik
geologis, morfologis, dinamika kegempaan dan dinamika iklim lokal yang berkombinasi
dengan aspek dimensi manusia baik kependudukan (demografis), kerentanan (yang
diukur dari tingkat eksposure aset dan manusia, terproteksinya sumber-sumber air dan
penghidupan serta tata ruang yang tidak memperhitungkan kebencanaan, membuat
bencana seolah berkajang karena akan selalu datang kembali dengan menghasilkan
peristiwa yang membawa duka.
Untuk Lembata, khususnya di Waiteba maupun secara keseluruhan Lembata, rumusan
yang sama berlaku bahwa kombinasi dari aspek dinamika geologis, kegempaan, risiko
tsunami dan interaksinya dengan vulkanik bawah laut maupun di darat, yang terus aktif
merupakan tantangan bagi kebijakan publik tentang bagaimana membuat masyarakat
tidak secara mencolok terekspos pada bencana-bencana dengan karakteristik yang sama
di 30 tahun lalu.
Kesimpulan ini tidak dibuat untuk merampungkan pengetahuan tentang Ile Mandiri atau
tsunami Lembata 30 tahun silam. Tetapi ditutup dengan pertanyaan pada para peminat
studi bencana maupun peminat studi NTT maupun pengambil kebijakan, tentang apakah
yang sesungguhnya berubah ditingkat kelembagaan kita formal maupun informal, dalam
meresponi risiko-risiko yang tidak terlihat dengan mata awam? Apakah yang berubah
[Journal of NTT Studies] Vol 1 Issue 2: 1 74
dalam 30 tahun terakhir? Apakah yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dalam
konteks Otonomi Daerah yang terkenal dengan jargon pemekaran untuk pelayanan yang
lebih baik - Apakah mungkin kebijakan publi lebih sensitif dengan karakter risiko-risiko
yang lebih lokal?
6. Bibliografi
Barnes, Robert H. (2005) “ Hongi Hinga and its implications: A war of colonial
consolidation in the Timor Residency in 1904.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde (BKI) 161-1. 1-39. Diakses 2 November 2009, tersedia di
http://kitlv.library.uu.nl/index.php/btlv/article/viewFile/3069/3830
Barnes, Robert H. 1980 "Concordance, Structure and Variation: Consideration of
Alliance in Kedang.” In Fox, James J. and Adams, Monni “The Flow of life:
essays on eastern Indonesia.” Volume 2 of Harvard studies in cultural. Harvard
University Press.
Barnes, Robert H. (1974) “Kedang: The Study of the Collective Thought of an Eastern
Indonesian People. Oxford: Clarendon Press
Effendi, Soehaimi and Kuntoro (1983) “Laporan Gempabumi P. Solor dan P. Adonara,
Flores Timur, 25 Desember 1982.” Seksi Geologi Kuarter dan Seismotektonik,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Effendi, A. T. dan Wirasuganda (1979) “Laporan Bencana Alam Gerakantanah Pada
Komplek Gunung Ile Mandiri, Larantuka di Flores Timur.” Laporan No. 2091
Direktorat Geologi Tata Lingkungan – Sub Direktorat Geologi Teknik, Direktorat
Jenderal Pertambangan Umum, Department Pertambangan dan Energi, Bandung,
Mei 1979.
Elifas, D. Joedo (1979) “Laporan Hasil Peninjauan Bencana Alam di Selatan Pulau
Lomblen, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Laporan No. 2106
September 1979, Direktorat Geologi Tata Lingkungan Sub Direktori Geologi
Teknik, Department Pertambangan dan Energi.
Jeffery, Susan E. (1981) “Our Usual Landslide: Ubiquitous Hazard and Socioeconomic
Causes of Natural Disaster in Indonesia.” Working Paper 40, Hazard Research
Centre, University of Colorado. Tersedia online – Akses terakhir tanggal 1 Nov
2009 di http://www.colorado.edu/hazards/publications/wp/wp40.pdf
Koesoemadinata, S. dan Noya, Y. (1990) “Geology of the Lomblen Quadrangle, East
Nusatenggara.” Indonesian Geological Research and Development Centre.
Prawirodisastro M., et.al., (1979) “Laporan singkat Bencana Alam di Larantuka,
Kabupaten Flores Timur, DPU Propinsi DT I Nusa Tenggara Timur.”
van Bemmelen, R. W. (1949) “Report on the Volcanic Activity and Volcanological
Research in Indonesia during the period 1936-1948.” Bulletin of Volcanology,
Volume 9, Number 1 / December, pp. 3-29.
Westgate, K. and O’Keefe, Phil (1976). Some Definitions of Disaster. Occasional





Lampiran
Laporan Bencana Alam Gerakantanah Pada Komplek Gunung Ile
Mandiri, Larantuka di Flores Timur21
Oleh A.T. Effendi dan Soleh Wirasuganda
1. Pendahuluan
Berita mengenai bencana alam di Larantuka di Flores Timor yang terjadi pada tanggal 27
Februari 1979 telah menjadi berita nasional yang penting pada awal bulan maret 1979,
baik yang dimuat dalam berbagai surat-surat kabar maupun melalui siaran TVRI.
Bencana alam, ini dianggap cukup besar karna besarnya penderitaan yang dialami oleh
masyarakat setempat, baik secara lahiriah maupun batiniah. Penderitaan batiniah akibat
kehilangan harta benda dan jiwa, dan lahiriah oleh akibat terganggunya ketenangan hidup
masyarakat disana.
Dalam rangka ikut membantu menangani bencana alam di komplek Ili Mandiri, direksi
geologi tata bangunan telah menugaskan kedua penulis laporan yang dibantu oleh
saudara Sugiharo N, B.Sc untuk mengadakan penilitian ke daerah dimaksud. Masalah
yang ditangani adalah gerakantanah dan pengadaan air rumah tangga.
Pengarahan dalam rangka penanggulangan bencana longsor telah diberikan langsung oleh
Direktur Direktorat Geologi Tata Lingkungan dan Kepala Sub Direktorat Geologi
Teknik. Penilitian dilapangan dilakukan antara tanggal 9 - 11 maret 1979 di daerah
komplek G. Mandiri dan Bama.
2. Keadaan Wilayah
Letak geografi, pemerintah dan perhubungan. Kota larantuka adalah ibukota
Kabupaten Flores Timur yang terletak kira-kira pada garis 8o23’ Lintang Selatan serta
123o Bujur Timur. Di sebelah Timur dibatasi oleh selat Flores, di sebelah selatan oleh
selat Lewotobi, dan di utaranya terdapat komplek Gunung (Ile) Mandiri.
Secara administratif Flores Timur termasuk dalam daerah Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Daerah bencana Larantuka meliputi komplek Gunung Mandiri, termasuk kecamatan
Larantuka dan Perwakilan Kecamatan Ile Mandiri. Kedua daerah kecamatan tersebut
mempunyai luas wilayah lebih kurang 296 km².
Kota larantuka dapat di capai dari Kupang melalui jalan laut maupun udara. Kota tersebut
dapat dicapai pula dari maumere lewat darat, laut dan udara.22 Sistim jaringan jalan di
Flores Timur terdiri dari 66 km jalan negara menghubungkan Larantuka- Maumere, 87
km jalan propinsi dan sepanjang 304 jalan Kabupaten. Jalan negara hanya beraspal lebih
kurang sejauh 10 km dari Larantuka ke Oka. Selebihnya diperkeras dan termasuk jalan
kelas III dengan lebar 4-5 m serta berkemampuan tekanan gandar lebih kurang 3,5 ton.
Pada beberapa tempat sepanjang jalan Negara tersebut nampak gejala-gejala
kemungkinan badan jalan akan longsor.23 Kota Larantuka mempunyai pelabuhan kapal
laut yang memiliki fasilitas terbatas, hanya dapat melayani kapal laut berbobot 100 ton
dan perahu-perahu layar.
Hubungan lewat udara ke kota ini dilayani oleh penerbangan perintis lewat Kupang ke
Larantuka dengan pesawat jenis Twin Otter atau yang berukuran kecil. Lapangan terbang
perintis lebih kurang 12 km disebelah timur laut Larantuka. Menurut keterangan,
pelayanan penerbangan dimulai sejak tahun 1976 oleh Merpati Nusantara Aielines
(MNA) dua kali seminggu dan sewaktu-waktu dilayani pula perusahan penerbangan DAS
(Dirgantara Air Service).
Penduduk, mata pencarian dan penggunaan tanah. Penduduk Kecamatan Larantuka
dan perwakilan Kecamatan Ile Mandiri terdiri dari 25 buah desa dengan jumlah penduduk
lebih kurang 27.444 jiwa (4.235 Kepala Keluarga). Jadi kepadatan penduduk rata-rata 93
jiwa/km², rata-rata satu keluarga mempunyai anggota 4 – 6 jiwa. Keseluruhan penduduk
menempati 2.230 buah rumah, yang berarti bahwa tiap rumah rata-rata dihuni lebih
kurang 2 keluarga. Mata pencarian penduduk umumnya sebagai petani kecil, sedangkan
selebinya sebagai pegawai negeri, pegawai perusahan, pedagang, buruh dan nelayan.
Makanan pokok utama adalah jagung.
Komplek Ile Mandiri mulai dari bagian puncak gunung hingga ke kakinya dapat di bagi
menjadi 4 zona penggunaan tanah24 sebagai berikut :
Zona pertama, dibagian puncak pada daerah terjal dibentuk oleh batuan lava dan breksi
vulkanik dengan tanah lapukan yang tipis (kurang dari 0,5 meter). Daerah ini seluruhnya
tertutup hutan lebat.
Zona kedua, daerah bergelombang sampai curam pada tubuh gunung, dibentuk perlapisan
batuan dari perselingan antara lava dan breksi vulkanik kurang kompak serta bahan
rombakan. Tergantung dari tempatnya, tanah lapukan mempunyai tebal berkisar antara
0,5 – 2 m. Daerah ini tertutup hutan belukar dan sedikit rumput, tempat penggembalaan
hewan. Hutan belukar disini merupakan cadangan untuk perladangan.
Zona ketiga, daerah landai dibagian kaki gunung yang batuannya dibentuk oleh bahan
rombakan dan endapan aluvial. Daerah ini digunakan sebagai kebun tumpang sari
(jagung, pado gogo ranca, palawija lainnya dan sayuran) dan sebagiannya masih berupa hutan belukar untuk tanah cadangan penanaman tahun berikutnya. Sebagian kecil daerah
ini dipakai juga perkampungan penduduk.
Zona keempat, daerah dataran pantai dan dataran antar gunung yang dibentuk oleh
endapan aluvium pantai dan aluvium lembah. Daerah ini dipakai untuk tempat
pemukiman penduduk, sarana jalan, lapangan terbang, kebun campuran dan sedikit hutan
belukar untuk penggembalaan ternak.
Iklim dan curah hujan. Larantuka dipengaruhi oleh dua musim, yaitu musim barat
(musim hujan) dan musim timur (musim kemarau). Musim barat berlangsung antara
bulan Januari dan Maret. Pada saat itu bertiup angin barat cukup kencang dan
menimbulkan banyak hujan jatuh. Kadang-kadang disekitar bulan Januari atau Februari
terjadi angin kencang (ribut) yang dapat berlangsung 7 – 15 hari, yaitu yang biasa disebut
angin barat Oka di bagian selatan Komplek Ile Mandiri dan angin Barat Mulobang
dibagian utaranya. Angin barat yang bertiup kencang tersebut sering menimbulkan
kerusakan pada tanaman dan perumahan penduduk , serta mengganggu kelancaran
lalulintas di laut. Angin musim timur yang umumnya kering bertiup tidak sekencang
angin barat dan berlangsung antara bulan Juni dan Juli. Dalam bulan-bulan Agustus
hingga Oktober bertiup angin tenggara. Pada bulan April, Mei, Agustus dan September
bertiup angin pancaroba yang arahnya tidak tentu.
Suhu udara sepanjang tahun di Larantuka berkisar antara 200 -300 C, namun pada bulan
Juli sampai Oktober suhunya dapat mencapai 320C pada siang hari dan 180C pada malam
hari. Menurut Schmidt dan Perguson (1951), Larantuka mempunyai tipe curah hujan E
yang kering. Banyaknya hari hujan setahun rata-rata 75 hari (lihat grafik dibawah)
Curah hujan terbanyak terjadi dalam bulan Januari, Februari dan Maret. Musim hujan
umumnya dimulai pada bulan Oktober hingga April. Dari catatan curah hujan bulan-
bulan Januari dan Februari 1979 terjadi curah hujan masing-masing sebesar 237 dan 319
mm dengan jumlah hari hujan sebanyak 16 dan 13 hari. Pada hari dimana terjadinya
bencana alam larantuka 27 Februari 1979 tercatat curah hujan sebesar 180 mm (lihat
Gambar 1 dan 2). Daerah Larantuka termasuk daerah agak basah jika dibandingkan
dengan daerah lain di Flores Timur.
3. Morfologi dan Geologi
Morfologi. Secara morfologi, Gunung (atau Ili) Mandiri merupakan bekas gunung api
berbentuk kerucut, terletak tersendiri di sebelah timur P. Flores, berdinding terjal
dibagian atasnya dan makin melandai ke arah kaki. Pengamatan dari bagian puncak
gunung dengan helipkopter ternyata tidak menunjukan adanya danau kawah. Gunung
mandiri (+ 1.501 m) merupakan bentuk gunung api strato yang sudah tidak aktif lagi dan
material pembentukannya terdiri dari perselingan lapisan batuan lava dan breksi volkanik
mulai dari bagian puncak, daerah tubuhnya, hingga bagian kaki gunung. Perselingan
lapisan batuan lava dan breksi volkanik tersebut menunjukan sudut kemiringan 3o -5o.
Dibagian atas gunung mulai dari puncak, kemiringan dinding lerengnya berkisar antara
80o – 70o, bahkan ada yang hampir tegak. Pada bagian tubuh di tengah agak melandai
sekitar 30o – 20o dan pada dataran sempit sepanjang pantai yang mengililingan kaki
gunung lebih kecil dari 5o. Jarak lurus rata-rata dari puncak gunung ke garis pantai lebih
kurang 4 km. Di bagian selatan, barat dan utara terdapat dataran sempit dengan lebar 300-
400 m, sedangkan dibagian timur lebarnya lebih kurang 1 km.26
Pola penyaluran air dikomplek G. Mandiri berbentuk radial dengan puncaknya sebagai
pusat. Alur-alur lembahnya yang kering dan hanya berair pada waktu musim hujan
mempunyai dinding lembah yang curam dan dalam. Satu-satunya alur lembah yang selalu
berair terdapat dibagian timur lereng G. Mandiri, karna pada bagian lereng yang terjal
muncul mataair yang kemudian mengalir ke suatu sungai yang melewati Kp. Oka.
Mataair ini diturap oleh penduduk untuk keperluan air minum, namun kini telah hancur
oleh runtuhan batu pada waktu terjadi bencana. Pada lembah-lembah alur-alur tersebut,
terdapat 5 -6 jeram atau undak-undak yang tingginya berkisar antara 5 – 20 meter. Pada
alur lembah terlihat sering terjadi runtuhan batu dan breksi lapuk dan bertumpuk pada
dasar lembah pada bagian undak-undak tersebut.
Geologi. Komplek G. Mandiri merupakan bekas gunung api strato yang dibentuk oleh
hasil kegiatan gunung api masa lampau. Batuannya terdiri perselingan antara lava
basalto-andesit dan breksi vulkanik. Lava berwarna abu-abu dan kemerahan, berkekar
rapat sehingga mudah terlepas menjadi bongkah-bongkah besar maupun kecil. Breksi
vulkanik berwarna kuning keputihan, komponennya terdiri dari pecahan batu basalt dan
andesit berukuran kerikil hingga bongkah serta sedikit batu apung dengan masa dasar
pasir tufaan. Pada bagian kaki gunung dengan daerah perbukitan bergelombang
menengah terdapat bahan rombakan (debris). Kemudian di dataran rendah di endapkan
bahan rombakan dan endapan aluvium berumur Resen, terdiri dari campuran bongkah
batu, kerikil, pasir dan lempung. Di kaki bagian timur komplek G. Mandiri di daerah
rendah dijumpai singkapan batu gamping terumbu yang berbentuk suatu punggungan
kecil, Pada mulut alur-alur terdapat endapan aluvium berbentuk kipas. Umumnya kipas
aluvium ini dimanfaatkan sebagai daerah perkampungan.
4. Masalah Gerakantanah
Jenis dan sebab-sebab gerakantanah. Dari hasil pengamatan dilapangan diketahui
bahwa bencana alam longsoran batu/tanah (debris avalnche) di Larantuka yang berasal
dari tebing-tebing dekat bagian puncak G. Mandiri tergolong jenis tanah dan batu yang
bercampur dengan air hujan berkumpul dalam alur-alur lembah, kemudian meluncur ke
bawah sehingga merupakan suatu banjir bandang. Gerakantanah berupa longsoran
setidaknya dapat dilihat hubungannya dengan parameter yang menjadi penyebanya
seperti : morfologi atau keadaan lereng, geologo (jenis batuan, stratigafi dan struktur
batuan), curah hujan atau keairan, kegempaan dan penggunaan tanah atau vetigasi.
Keempat variabel pertama alam dan yang kelima berhubungan dengan segala tindakan
manusia. Parameter tersebut diatas saling berkaitan dengan proses terjadinya
gerakantanah.
Dari uraian terdahulu pada bagian 2 dan 3, jelas bahwa untuk komplek G. Mandiri
terdapat kombinasi dan interaksi antara parameter tersebut diatas. Ternyata kondisi
wilayah mengarah ke pengaruh yang tidak menguntungkan.
Morfologi bagian puncak G. Mandiri merupakan tebing curang hingga terjal dan bahkan
hampir terjal. Kedudukan lereng yang demikian akan mempengaruhi stabilitas lereng
yang dibentuk oleh perselingan antara batuan lava berkekar rapat dan breksi vulkanik
lapuk. Karena terjadinya perbedaan fisik antara kedua jenis batuan dan faktor lain yang
menggangu kestabilan lereng, maka proses runtuhan dapat terjadi sewaktu-waktu pada
dinding lereng tersebut. Gejala runtuhan batu/tanah terlihat di lembah-lembah alur
sekililing G. Mandiri. Bahan runtuhan pada bagian dinding lereng sekitar puncak masuk
ke dalam lembah alur-alur yang ada. Bahan runtuhan ini kebanyakan terkumpul pada
bagian datar undak-undak di dalam alur-alur lembah, sehingga oleh waktu dapat
terakumulasi dalam jumlah cukup besar.
Pada bagian lereng atas dan puncak G. Mandiri terdapat hutan tua dan lebat dengan
sendirinya menambah beban pada permukaan lereng terjal. Karna tanah penutupnya tipis
maka daya ikat pepohonan terhadap batuan dasarnya tidak kokoh. Akibat goncangan
musim barat yang bertiup kuat dalam waktu cukup lama, maka pohon-pohon tua dari
hutan tutupan akan mudah tumbang dan tentu saja disertai longsoran tanahnya pada
bagian lereng atas gunung seperti tampak jelas terlihat dilapangan.
Karena kondisi serupa terdapat di seputar lereng dan puncak G. Mandiri, maka dapat
dipahami kalau terjadi runtuhan serempak pada bagian lembah-lembah alur yang ada.
Bencana gempa bumi yang terjadi pada tanggal 4 November 1975 di komplek G. Mandiri
dan kota Larantuka yang getaran ikutannya terasa selama hampir dua minggu, tidak
mustahil merubah juga ikatan struktur batuan di daerah puncak G. Mandiri. Menurut
keterangan penduduk setempat gempabumi tersebut terasa kuat, sehingga faktor
kegempaan didaerah ini tentu ikut menentukan pula proses terjadinya gerakantanah.
Menurut peta Tektonik Kwarter dan zona seismik di indonesia (KATILI) et.al., 1970
daerah Flores Timur termasuk daerah jalur gempa berskala intensitas VII – VIII Tossi
Forel, yang dapat mempunyai percepatan horisontal antara 0,05 – 0,1 g. Jadi jelas daerah
ini termasuk pada jalur gempa bumi.
Curah hujan sebelum terjadi bencana tercatat sangat tinggi, yaitu dalam waktu kurang
lebih 3 jam mencapai 180 mm. Keadaan ini memacu terjadinya longsoran pada tebing
lereng yang curam, dan kemungkinan terjadi banjir bandang. Melihat akibat banjir
bandang yang terjadi, nampaknya air permukaan dengan volume yang begitu besar bukan
hanya berasal dari air hujan pada waktu itu saja, tetapi harus ditambah dengan air yang
tertampung lama sebelumnya dan terkumpul pada lekukan-lekukan di alur-alur lembah.
Terkumpul volume air yang cukup besar itu hanya dapat terjadi apabila terdapat
hambatan berupa pembendungan alam (natural blockade). Bendungan alam terbentuk
secara bertahap di dalam alur-alur lembah oleh akumulasi bahan-bahan rombakan dari
runtuhan batu/tanah bercampur dengan batang-batang kayu yang tumbang. Pada suatu
saat air terbendung itu akan melimpah karena volumenya bertambah dan terjadi limpahan
melalui puncak bendung alam (gejala over topping) yang dapat mengakibatkan bendung
alam jebol atau hancur. Bahan rombakan bercampur air ini waktu meluncur ke bawah
akan bertambah volumenya, karna disamping menyeret tumpukan bahan sepanjang alur
juga mengikis secara lateral bagian dasar dan dinding lembah yang mudah runtuh.
Akhirnya material bercampur air ini di mulut lembah mengikis bahan endapan rombakan
lama sehingga jumlah bertambah banyak dan menjadikan banjir bandang dengan
kecepatan aliran yang deras dan melanda segala sesuatu yang ada di mulut lembah
tersebut. Menurut keterangan penduduk banjir bandang seperti ini pernah terjadi pada
tahun 1908, 1938 dan berturut-turut pada tahun 1978 dan 1979.
Daerah bencana. Bencana banjir bandang ini telah melanda sebagian kota Larantuka
dengan perkampungan yang padat penduduknya maupun bangunan dan kampungkampung
dan desa-desa di komplek kaki G. Mandiri. Bencana ini telah menyebankan
korban manusia yang cukup besar, baik yang meninggal atau luka-luka maupun yang
hilang dan terpaksa mengungsi ke tempat lain. Catatan terakhir adalah : 99 orang
meninggal, 150 orang luka-luka berat, 195 orang luka-luka ringan, 45 orang menghilang
dan 8.750 orang mengungsi.
Sekitar 20 buah desa telah terkena bencana, diantara 8 desa hancur atau rusak berat.
Desa-desa tersebut terletak tepat pada jalur-jalur banjir, 10 buah jalur cukup lebar dan 7
jalur kecil dan sempit. 3 buah jalur telah melanda kota Larantuka dan sekitarnya sehingga
mengakibatkan hampir 50 % dari kota larantuka hancur
Dari pengamatan dilapangan ternyata kebanyakan tempat tinggal penduduk dan kebun
campuran berada di muka mulut lembah alur-alur kering yang batuan dasarnya dibentuk
oleh bahan rombakan lama berbentuk kipas aluvium. Pemilihan pemukiman di daerah
dapat di pahami, karna daerahnya agak datar dan mudah mendapatkan airtanah, namun
penduduk tidak menyadari bahwa tempat-tempat tersebut sewakyu-waktu dapat terancam
bahaya banjir bandang. Pada dasarnya banjir bandang besar yang terjadi tanggal 27
Februari 1979 adalah merupakan pengulangan banjir bandang 26 February 1978, yang
berukuran lebih kecil, dengan sedikit pergeseran dan dan panambahan alur banjirnya.
Kemungkinan terjadi banjir bandang pada masa akan datang masih ada, dan akan
berulang pula pada tempat-tempat tersebut dengan kemungkinan terjadi sedikit
[Journal of NTT Studies] Vol 1 Issue 2: 1 81
pergeseran alirannya. Untuk itu jalur-jalur daerah bahaya telah di patok di lapangan agar
tidak dihuni orang lagi.
Banjir bandang yang terjadi tanggal 27 Februari 1979 telah melalui 10 jalur dan melanda
antara lain desa-desa : Pontoh, Lahayong, Balela, Waibalung, Lawamalang, Wailolong,
Lewoleba, Riangkemia, Lewohala, Lewonoda dan Wawowuti. Disamping itu terdapat
sekitar 7 jalur kecil yang tidak menyangkut kampung.
Pada umumnya lebar jalur yang melanda daerah-daerah tersebut di ats sekitar 100 – 350
meter. Jumlah material rombakan yang terangkut dan menimbun daerah komplek G.
Mandiri di perkirakan sekitar 10 juta meter kubik.
Masalah Air Rumah Tangga. Bencana alam di komplek G. Mandiri telah merusak pula
pipa jaringan air minum larantuka yang berasal dari mataair Matereto. Jaraknya dari kota
Larantuka tidak kurang dari 30 km. Kerusakan terjadi pada bangunan penurapan mataair
Wae Kamea, di daerah kaki barat G. Mandiri (lampiran 5). Akibatnya kebutuhan air
untuk penduduk kota Larantuka dan sekitarnya tidak dapat di penuhi lagi. Sumber lainya,
seperti air sumur gali sangat kurang.
Hidrogeologi. G. Mandiri dan sekitarnya apabila di tinjau dari faktor morfologi,
penyebarab batuan, vegetasi dan keadaan curah hujan secara hidrogeologi dapat
dibedakan menjadi dua wilayah airtanah yaitu wilayah airtanah pebukitan dab wilayah
airtanah dataran.
Puncak tertinggi adalah G. Mandiri. Dibagian puncak dan lereng berhutan lebat
sedangkan di bagian kaki hanya ditumbuhi semak belukar dan padang rumput. Di daerah
puncak dan lereng pembentukan airtanah belum banyak terjadi karena medannya curam.
Apabila terjadi hujan pengaliran permukaan menjadi lebih menonjol. Di daerah kaki
peresapan ke bawah sudah lebih banayak terjadi kalau dibandingkan dengan pengairan di
permukaan.
Airtanah tertekan atau artolis di wilayah airtanah pebukitan tidak akan di temukan,
sebaliknya airtanah tidak tertekan pada daerah-daerah lembah atau dataran yang sempit
masih mungkin ditemukan. Biasanya kedudukan muka airtanahnya dalam karna
mengikuti topografi setempat. Contoh airtanah tidak tertekan atau biasa didebut airtanah
bebas adalah air dalam sumur gali milik penduduk setempat (lihat peta lampiran 6 ).
Dengan mempertimbangkan morfologi, penyebaran batuan, vegetasi dan penguapan di
wilayah ini, di perkirakan hanya 10% dari air hujan yang jatuh di wilayah ini meresap di
dalam tanah atau batuan dan akan mengalir sebagai airtanah. Dengan mengambil data
curah hujan setahun 1750 mm, maka setiap satu km² luas wilayah ini dapat
diperhitungkan banyaknya airtanah tang mengalir adalah :
10% x 1.750 x 106 m3 = 175.000 m3/tahun atau 15,81 m3 / jam
Dari angka tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kandungan airtanah di wilayah ini
sangat kecil. Air tanah tersebut diatas akan muncul di daerah rendah sebagai rembesan
atau mataair dengan debit umumnya kurang dari 20 l/det (gambar). Mataair semacam ini
terdapat di daerah lava berongga-rongga atau di ujung curah atau tekuk pada lereng
akibat terpotongnya aliran airtanah oleh topografi setempat. Mataair Matareto telah
dimanfaatkan airnya untuk air minum kota Larantuka dan oleh penduduk di sekitarnya.
Sejak terjadinya longsor besar di lereng G. Mandiri sebagian besar pipa saluran airnya
[Journal of NTT Studies] Vol 1 Issue 2: 1 82
terputus di hanyutkan lumpur dan batuan. Bangunan penurapan mataair Wae kameapun
hancur terimbun longsor. Meskipun demikian mataair tersebut tetap berair. Hal mana di
buktikannya masih mengalir air di sungai oka yang bersumber pada mataair Wae Kemea.
Wilayah airtanah dataran. Wilayah airtanah dataran terdapat disebelah barat, timur dan
timur laut G. Mandiri. Pada umumnya luas terbatas pada ketinggiannya kurang dari 100
meter dari muka laut. Airtanah dataran terbentuk terbentuk di daerah batuan yang berasal
dari aliran sungai dan endapan pantai. Vegerasi penutupnya berupa tanah campuran atau
berupa tanah pesawahan. Kemiringan medan di dataran rendah ini umumnya kurang dari
50.
Satuan batuan yang menutupi daerah+ ini adalah satuan batuan aluvium yang terdiri
antara lain dari lempung, lempung pasiran, pasir, kerikil dan hasil rombakan dari daerah
kaki gunung. Di daerah dataran pantai batuannya terdiri dari aluvial pantai.
Airtanah bebas di daerah dataran mudah ditemukan, misalnya dengan cara membuat
sumur gali sedalam kurang dari 15 meter. Sebagai contoh sumur gali yang mutu airnya
cukup baik terdapat di Weri dan Kebonsirih (Gb. 6). Air jernih, tidak berbau, rasanya
tawar. Pada beberapa sumur gali milik masyarakat airnya terasa payau, ;leh kontaminasi
air laut. Contoh sumur gali gali demikian dapat di jumpai di desa Pantai besar.
Airtanah tertekan atau air artois di dataran sekililing G. Mandiri belum di ketahui dengan
pasti karna penilitian dengan cara pemboran maupun penelitian geolistrik belum pernah
dilakukan. Berdasarkan faktor-faktor kemiringan medan, vegetasi penutup, pengaliran air
permukaan, penguapan, jenis batuan serta jumlah curah hujan di wilayah G. Mandiri
(sekitar 1000 mm setahun), untuk wilayah ini dapat dihitung banyaknya airtanah yang
mengalir ke bawah untuk daerah seluas 1 km2 sebesar :
30 % x 1000 x 106 m3 = 300.000 m3/tahun atau 34,25m3/jam
Dengan memperhitungan aliran airtanah dari daerah tanah (kakai pebukitan disekitarnya)
tentu angka tersebut di atas akan bertambah besar lagi, sehingga dapat diharapkan bahwa
daerah dataran rendah sebelah barat maupun timur komplek G. Mandiri adalah
merupakan tempat akumulasi airtanah yang potensial.
Pada waktu bencana longsor menimpa larantuka penduduk mengalami kekurangan air
bersih. Ini bukan disebabkan tidak tersedianya sumurgali melainkan pada waktu pipa
saluran air bersih ke kota Latantuka selesai penduduk sempat berlomba-lomba
menimbuni sumurgalinya.
Keadaan sumber persediaan air keperluan rumah tangga bagi kota Larantuka.
Mataair Matareto adalah sumber air untuk kota Larantuka. Pipa saluran air ke kota yang
terputus akibat longsor apabila diperbaiki kembali masih dapat mengalirkan air dari
mataair Matareto ke kota Larantuka.
Khusus untuk mataair Wea Kamea perlu diperbaiki bangunan penurapannya yang hancur
akibat tertimbun bahan longsoran. Selama ini sumberair tersebut di pergunakan oleh
penduduk Wailolong dan sekitarnya untuk kebutuhan air minum.
Di samping persediaan air dari sumber mataair, masih ada sumber air lainnya yang
berasal dari sumur gali. Di daerah dataran rendah terdapat banyak sumur gali baik di kota
Larantuka maupun desa-desa yang telah ditimbuni. Sekarang perlu dibersihkan, dan
[Journal of NTT Studies] Vol 1 Issue 2: 1 83
digali kembali atau membuat sumur gali yang baru. Kedalaman sumur gali dan mutu
airnya biasanya tidak jauh berbeda dengan sumur gali yang ada disekitarnya.
5. Kesimpulan dan Saran-Saran.
Bancana alam gerakan tanah di komplek G. Mandiri termasuk jenis runtuhan batu dan
lapukan. Bahan-bahan ini kemudian bercampur dengan air dan menjelma menjadi banjir
bandang. Keadaan lingkungan G. Mandiri dilihat dari segi morfologi, geologi (keadaan
batuan), vegetasi penutup dan intensitas curah hujan merupakan faktor-faktor utama
penyebab terjadinya longsoran atau runtuhan
Proses longsoran ini menjadi bencana, karena telah melanda daerah pemukiman
penduduk yang padat. Letak pemukiman-pemukiman ini di mulut jalur lembah berbentuk
kipas aluvium yang sewaktu-waktu dapat terancam bahaya banjir bandang.
Pada dasarnya banjir bandang yang terjadi pada 27 Februari 1979 merupakan
pengulangan peristiwa banjir bandang yang terjadi pada tahun 1978. Ukurannya lebih
besar dan telah terjadi sedikit pergeseran dari alur lama.
Kemungkinan terjadinya banjir bandang pada masa yang akan datang masih ada, karena
itu perlu diadakan pengontrolan dan pengawasan terhadap alur-alur yang mengakibatkan
bencana tersebut. Alur-alur lembah ini potensial untuk gejala longsoran dan runtuhan,
terutama pada waktu musim hujan. Bila terjadi runtuhan kecil sebaiknya runtuhan
material ini disingkirkan supaya jalan air pada waktu turun hujan lancar. Hal ini perlu
untuk mencegah terbentuknya bendungan alam yang kemudian dapat menjelma menjadi
banjir bandang.
Secara hidrogeologi, di wilayah air tanah perbukitan tidak akan dijumpai air tanah
tertekan. Kemungkinan hanya terdapat air tanah bebas di lembah-lembah dengan muka
airtanah diperkirakan lebih dari 5 meter di bawah permukaan tanah setempat.
Mataair Matareto (sumber air minum kota Larantuka), Wae kebo dan Wae Kamea tetap
akan mengalir. Air dari ketiga mataair tersebut dapat dialirkan kembali kepada konsumen
setelah ada perbaikan pipa yang hancur dan terputus. Khusus untuk mataair Wae Kamea
perlu diperbaiki juga penurapannya karna hancur dan tertimbun longsoran G. Mandiri.
Untuk menghadapi krisis air, sumur gali yang ada (ditambah dengan sumur gali yang
baru) dapat dimanfaatkan. Mutu air sumur gali di daerah ini cukup bauk.
Disaränkan untuk tidak memanfaatkan lagi jalur-jalur bekas aliran banjir bandang,
terutama untuk pemukiman. Daerah ini berbahaya karna kemungkinjan dapat terulang
kembalinya bencana masih ada.
Bekas jalur-jalur banjir bandang di atur sedemikian rupa sehingga kalau terulang kembali
banjir, alurnya tetap pada jalurnya yang ada dan dipertahankan supaya tidak bergeser atau
beralih kesampingnya. Caranya yaitu alur yang ada sekarang tetap dipertahankan dan
diperlebar sedemikian rupa agar material yang terangkut tersalurkan dengan baik.
Agar ditingkatkan kesiagaan masyarakat dan pemerintah setempat untuk menghadapi
kemungkinan timbulnya kembali bencana yang serupa. Penataan Kota dan daerah dapat
dilaksanakan setelah sarana jalan yang terkena bencana diperbaiki dan pemukiman
penduduk diatur kembali.
[Journal of NTT Studies] Vol 1 Issue 2: 1 84
Barak-barak penampungan pengungsi dan pemukiman yang baru dapat ditempatkan
dibagian timur kaki G. Mandiri (sekitar Kp. Weri), dengan memperhatikan pula alur-alur
sungai kering yang mungkin dapat menimbulkan bahaya dikemudian hari.
Pengelolaan hutan tutupan di G. Mandiri perlu dipikirkan oleh instansi yang
bersangkutan agar pada daerah tersebut dapat dimantapkan lerengnya dari kemungkinan
bahaya longsoran pada masa yang akan datang.
Jalan-jalan yang terputus oleh jalur-jalur banjir bandang kalau dibuat secara permanen di
kawatirkan akn terjadi kerusakan kembali. Ini perlu diperhitungkan.
Agar masalah bencana G. Mandiri dapat diselesaikan secara tuntas , perlu diadakan
penilitian yang lebih seksama mengenai penyebab dan akibat yang dapat ditimbulkan
oleh bencana alam yang sekarang dan kemungkinan di kemudian hari oleh instansiinstansi
yang berwewenang. Hal ini menyangkut masa depan kota Larantuka dan
penduduk secara langsung.27
6. Daftar Bacaan Laporan
Ehrat H. 1925 : “Geologikal and Mining Surveys in the island of Flores”, Yaarboek
Mijnwesen 1925. Vehr. II, pp. 231 -315, Dienst van Mijnbouw, Bandung.
Joedo D. ELIFAS. 1978 : Lapotan peninjauan gerakantanah di Komplek Ile Mandiri,
Larantuka Kabupaten Flores Timur. (Laporan Sub. Dit. GTH No. 2038).#
Soetrisno S. 1977 : Laporan Pemetaan Hidrogeologi P. Flores, Nusa Tenggara Timur.
(Laporan Sub. Dit. GTH No. 1977)
Prawirodisastro M., et.al., 1979: Laporan singkat Bencana Alam di Larantuka, Kabupaten
Flores Timur, DPU Propinsi DT I Nusa Tenggara Timur.








Kabupaten Flotim
Print
E-mail

Written by Administrator   
Tuesday, 20 April 2010
  • Peta kabupaten
 

  • Tahun berdiri : 1958
  • Ibukota kabupaten : Larantuka
  • Batas wilayah :
    • Sebelah timur : Kabupaten Lembata
    • Sebelah barat : Kabupten Sikka
    • Sebelah Utara : Laut Flores
    • Sebelah Selatan : Laut Sawu
  • Visi dan Misi
    • Visi : TERWUJUDNYA MANUSIA DAN MASYARAKAT FLORES TIMUR YANG MAJU, SEJAHTERA, BERMARTABAT DAN BERDAYA SAING
    • Misi :
      1. Mengembangkan dan meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat Flores Timur dalam semua aspek kehidupan (Ekonomi, Politik, Sosial-budaya dan Hukum) agar menjadi subyek pembangunan yang maju, mandiri, berkepribadian (memiliki jati diri) sehingga berkemampuan optimal untuk mencapai derajat kesejahteraan yang tinggi dan menciptakan keunggulan yang berdaya saing.Misi ini bermakna membangkitkan rasa percaya diri dan optimisme rakyat menuju masa depan yang lebih baik.
      2. Mewujudkan tata kepemerintahan yang baik yang berintikan penerapan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas publik, kemitraan dan penegakan hukum di dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan pembangunan, serta mewujudkan pemerintahan yang bersih dari praktek KoKoNep.Misi ini bermakna mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan menegakkan kewibawaan pemerintah di mata masyarakat.
  Peta kabupaten
  Kondisi Umum
  • Kondisi geografis : Kabupaten Flores Timur terletak antara 08o 04’ - 08o 40’ LS dan 122o 38’ - 123o 57’ BT. Luas wilayah daratan 1 812,85 Km2 tersebar di 17 pulau (3 pulau yang dihuni dan 14 pulau yang tidak dihuni). Flores Timur memilki 4 gunung berapi, yaitu Gunung Lewotobi Laki-laki, Gunung Lewotobi Perempuan, Gunung Leraboleng serta Gunung Boleng.
  • Iklim : Beriklim Tropis dengan curah Hujan sekitar 60 – 150 hari per tahun dengan dedalaman 500 – 2000 mm per tahun
  • Jumlah penduduk : 238.166 jiwa (2009)
    • Laki-laki : 112.827 jiwa
    • Perempuan : 125.339 jiwa
  Wilayah administrasi
  • Jumlah kecamatan : 18 Kecamatan
  • Nama-nama kecamatan : Wulang Gitang, Titehena, Ilebura, Tanjung Bunga, Lewolema, Larantuka, Ile Mandiri, Demon Pagong, Solor Barat, Solor Timur, Adonara Barat, Wotanulumado, Adonara Tengah, Adonara Timur, Ile Boleng, Witihama, Kelubagolit, Adonara
  • Jumlah kelurahan : 17 Kelurahan
  • Nama-nama kelurahan :
  • Jumlah desa : 209 Desa
  • Nama-nama desa :
  Potensi Daerah :
  • Pertanian : Komoditi tanaman pangan dengan produksi terbesar adalah ubi kayu (34 322 ton), jagung (30 557 ton), padi ladang (24 329 ton). Padi sawah hanya sebesar 795 ton. Kacang tanah, ubi jalar dan kacang hijau masing-masing sebesar 2 532 ton, 1 370 ton dan 1 057 ton.
  • Perkebunan : Beberapa komoditi perkebunan yang menonjol di Flores Timur adalah kelapa, jambu mete, kemiri, pinang dan kakao. Produksinya masing-masing 9 498 ton, 10 424 ton, 872 ton, 80 ton dan 686 ton. Beberapa jenis rempah seperti lada, vanili dan pala, produksinya belum cukup banyak. Demikian pula dengan jarak pagar dan kapuk.
  • Peternakan : Ternak besar belum diusahakan secara maksimal di Flores Timur. Hanya sapi dan kuda yang menonjol, jumlahnya masing-masing mencapai 2 006 ekor dan 1 178 ekor. Ternak kecil terutama babi dan kambing cukup besar populasinya mengingat erat kaitannya dengan budaya setempat. Babi tercatat sebanyak 80 908 ekor dan kambing sebanyak 62 038 ekor.
Berdasarkan analisis probabilistik mengenai wilayah kegempaan, Propinsi NTT terkategori
sebagai wilayah 6 (enam). Wilayah 6 (enam) merupakan daerah yang mempunyai potensi paling
tinggi untuk mengalami gempa tektonik yang dapat menyebabkan tsunami. Wilayah ini dilalui oleh
patahan lempeng benua dan samudera yang mengakibatkan sering terjadi gempa tektonik berskala
besar yang diikuti gelombang tsunami. Menurut data historis, wilayah NTT dibandingkan dengan
daerah berpotensi gempa tektonik yang menyebabkan tsunami di Indonesia, sejak tahun 1973
sampai sekarang telah terjadi sekitar 18 kali gempa bumi yang merusak dan kejadian tsunami. Data
historis lainnya, sejak 1814 hingga kini telah terjadi 25 kali gempa bumi dan beberapa kejadian
tsunami (Diposaptono, 2005 dan berbagai sumber). Peristiwa tsunami ini, pernah terjadi di
Kabupaten Sikka-Maumere, Kabupeten Flores Timur-Larantuka dan Pulau Flores keseluruhan,
Pulau Sumba, Kepulauan Alor dan Kepulauan Timor-Kupang.
Kabupaten Flores Timur merupakan salah satu daerah yang pernah dilanda tsunami.
Kabupaten Flores Timur berada pada Pulau Flores. Sekitar wilayah ini terdapat patahan lempeng
benua dan samudera pada bagian utara (sesar busur belakang) dan bagian selatan (sesar busur
muka) Pulau Flores. Sesar busur belakan ini yang sering mengakibatkan gempa dangkal. Patahan
ini dinamakan Patahan Flores. Kabupaten Flores Timur beribukotakan Larantuka. Berdasarkan
informasi yang diperoleh, tsunami besar akibat gempa tektonik yang melanda pesisir Kota
Larantuka, yakni pada tahun 1982 dan tahun 1992. Tahun 1982, gempa tektonik ini memiliki
intensitas 5,9 skala richter. Kerusakan yang terjadi cukup parah karena pusat gempa berada pada
3
laut dangkal flores bagian timur. Jumlah korban meninggal sekitar 13 jiwa. Kejadian tahun 1992,
memiliki intensitas gempa 7,5 skala richter, dengan maksimal run-up sekitar 26 m. Gempa ini
menguncang seluruh bagian Pulau Flores. Dampak tsunami terparah terjadi pada Kabupaten Sikka
dan Kabupaten Flores Timur. Kabupaten Flores Timur sendiri, dampak tsunami yang paling parah
terjadi pada Kecamatan Tanjung Bunga, yang berada pada bagian ujung timur kabupaten Flores
Timur. Ketinggian gelombang tsunami mencapai 10-21 m dan mengalir deras deras kedaratan
sejauh 26-660 m. Kerusakan yang terjadi berupa 200 rumah lenyap, tidak ada rumah yang tersisa,
pohon kelapa rusak berat, 137 penduduk meninggal dari 406 jiwa. Kondisi sekarang penduduk
yang menempati pesisir ini, membuat permukiman baru di daerah perbukitan dan terjadi perluasan
daerah laut yang dulunya merupakan bagian dari daratan (BMG Nasional dalam Kompas, 2006 dan
Diposaptono, 2008: 116). Keadaan ini dibuktikan dengan adanya RTRW Kabupaten Flores Timur
Tahun 2007-2017 & RU-RDTRK Larantuka Tahun 2007-2017, yang menyebutkan bahwa wilayah
ini rawan tsunami.
Berdasarkan peraturan daerah, kawasan pesisir pantai dan lereng gunung yang menjadi
kawasan lindung dan menjadi pemanfaatan sektor kegiatan yang berpotensi. Kawasan pesisir di
Kota Larantuka, diarahkan sebagai pengembangan pariwisata pesisir. Sektor pariwisata ini
merupakan pengembangan sektor unggulan di Kota Larantuka. Pemanfaatan pariwisata pesisir
diarahkan sebagai pariwisata yang bersifat ekowisata (ecotourism), maksudnya bahwa pemanfaatan
pariwisata pesisir berunsur konservasi dengan menjaga kelestarian ekosistem pesisir. Pemanfaatan
ini sebagai usaha perlindungan kawasan pesisir Kota Larantuka yang rawan terhadap bencana
tsunami. (RTRW Kabupaten Flores Timur & RU-RDTRK Larantuka, 2007). Kondisi eksisting,
pesisir Kota Larantuka cenderung dimanfaatkan sebagai kawasan perumahan dan permukiman,
perkantoran, perdagangan dan jasa. Kegiatan kawasan pesisir ini tidak diimbangi dengan suatu
tindakan mitigasi kawasan rawan tsunami. Maka dari itu, bagian pesisir Kota Larantuka rentan
terhadap kerusakan infrastruktur, korban jiwa, rasa kekhawatiran dan trauma, yang dapat
menciptakan suatu kondisi hidup yang tidak aman dan nyaman pada lingkungan kota. Pemanfaatan
lahan di pesisir pantai Kota Larantuka seharusnya sebagai sabuk hijau (green belt) bagi
perlindungan daerah rawan bencana tsunami.
Kawasan pesisir, yang menjadi lokasi penelitian, tepatnya berada pada salah satu kelurahan,
yakni di pesisir Kelurahan Weri. Kota Larantuka yang terdiri dari 14 kelurahan dan 8 (delapan)
desa pesisir yang memiliki karakter wilayah yang dikelilingi oleh pulau adonara, pulau solor, pulau
lembata dan pulau alor. Kelurahan Weri yang merupakan kelurahan terujung dari Kota Larantuka
yang berada pada bagian timur kota. Pesisir Kelurahan Weri menghadap ke Laut Flores, sumber
gempa dangkal biasa terjadi dan merupakan kawasan pesisir yang berpotensi sebagai daerah pertama di Kota Larantuka yang terkena gelombang tsunami. Tsunami akan dapat terjadi dari arah