3. Bencana Pada
Komplek Gunung Ile Mandiri, Larantuka 1979
Longsoran atau gerakan tanah
lereng gunung Ile Mandiri dan banjir di Larantuka tahun
1978-1979 merupakan cerita yang
sulit didapatkan dan tidak muncul dalam berbagai
database bencana baik yang
dikelolah oleh para kaum peduli bencana di NTT maupun
oleh database bencana global.
Untuk peristiwa ini, memory lost dicegah oleh setidaknya
sebuah paper yang penulis temukan
di Perpustakaan Badan Geologi Bandung yakni
Effendi dan Wirasuganda (1979).
Sedangkan Elifas 1978 dan Prawirodisastro, et.al.
(1979) tidak ditemukan.
Gambar 4. Ilustrasi Eksposure
Kota Larantuka Terhadap Longsoran/Banjir Dari Ile
Mandiri. (catatan: detail sketsa
dan peta longsoran dan banjir bandang 1979 yang diolah
Effendi dan Wirasuganda (1979)
tidak ditampilkan dalam paper ini)
Effendi dan Wirasuganda (1979)
melaporkan bahwa total desa terkena dampak adalah 20
desa dengan 8 desa hancur, total 96 orang meninggal,
53 orang hilang, 157 luka parah,
and 197 luka ringan. Aset
penghidupan yang hilang meliputi kehilangan 260 pohon
kemiri, 1,750 ha tanaman pangan
serta 1200 tanaman kelapa rusak, serta843 ternak mati.
Total bangunan yang rusak berat
74 dan hancur 461 buah. Terdapat 14 bangunan publik
yang hancur. 8,750 pengungsi
tercatat. Desa-desa tersebut terletak tepat pada jalur-jalur
banjir, 10 buah jalur cukup lebar
dan 7 jalur kecil dan sempit. 3 buah jalur telah melanda
kota Larantuka dan sekitarnya.
Effendi dan Wirasuganda (1979) mengklaim bahwa 50 %
kota larantuka hancur.18
Perubahan
Demografi.
Dalam laporan Effendi dan
Wirasuganda (1979) dikemukakan bahwa kepadatan
penduduk rata-rata adalah 93
jiwa/km.² Berdasarkan Flores Timur Dalam Angka 2008,
dengan data penduduk 2007,
kepadatan penduduk Larantuka terlah meningkat menjadi
441.50. Tentunya, batasan
administrasi 30 tahun lalu dan hari ini telah mengalami
perubahan yang besar, akibat
berbagai serial pemekaran wilayah.
Observasi Effendi dan Wirasuganda
(1979) menunjukan bahwa di lapangan diketahui
longsoran batu/tanah (debris
avalnche) di Larantuka yang berasal dari tebing-tebing
dekat bagian puncak G. Mandiri
tergolong jenis tanah dan batu yang bercampur dengan
air hujan berkumpul dalam
alur-alur lembah, kemudian meluncur ke bawah sehingga
merupakan suatu banjir bandang.
Parameter alamiah gerakantanah yang berpengaruh
meliputi morfologi lereng,
kondisi geologis (jenis batuan, stratigafi dan struktur batuan),
curah hujan atau keairan,
kegempaan dan penggunaan lahan dan vegetasi. Dari Logika
Westgate dan O’Keefe (1976),
interaksi antara ke empat hal yang bersifat alamiah ini
ditambahkan faktor tindakan
manusia, yakni kerentanan dalam bentuk penempatan asset,
infrastruktur, yang gampang
terpapar (terekspos)19 pada jalur-jalur longsoran dan banjir,
maka bencana adalah niscaya tak
terelakan.
Morfologi Lereng
Ili Mandiri. Investigasi
Effendi dan Wirasuganda menunjukan (lihat
juga gambar 4 dan 7) Ili Mandiri
merupakan tebing curang hingga terjal. Pada bagian
lereng atas dan puncak G. Mandiri
terdapat tutupan hutan tua dan lebat dengan sendirinya
menambah beban pada permukaan
lereng terjal. Karena tanah penutupnya tipis maka
daya ikat pepohonan terhadap
batuan dasarnya tidak kokoh.
Kondisi Geologis
Ili Mandiri. “Pada
bagian kaki gunung dengan daerah perbukitan
bergelombang menengah terdapat
bahan rombakan (debris). Kemudian di dataran rendah
diendapkan bahan rombakan dan
endapan aluvium, terdiri dari campuran bongkah batu,
kerikil, pasir dan lempung. Di
kaki bagian timur komplek G. Mandiri di daerah rendah
dijumpai singkapan batu gamping
terumbu yang berbentuk suatu punggungan kecil, Pada
mulut alur-alur terdapat endapan
aluvium berbentuk kipas.” Lihat detail pada lampiran
oleh Effendi dan Wirasuganda (1979).
Faktor Curah
Hujan. Berdasarkan
oral history, banjir bandang seperti 27 Feb 1979 ini
pernah terjadi pada tahun 1908
dan 1938. Sedangkan banjir yang relatif lebih kecil terjadi
pada 26 Feb 1978. Hal ini terekam
dalam laporan Effendi dan Wirasuganda (1979).
Curah hujan sebelum terjadi
bencana tercatat sangat tinggi, yaitu dalam waktu kurang
lebih 3 jam mencapai 180 mm
(lihat gambar 5). Keadaan ini memicu terjadinya
longsoran pada tebing lereng yang
curam, dan kemungkinan terjadi banjir bandang.
Melihat akibat banjir bandang
yang terjadi, nampaknya air permukaan dengan volume
yang begitu besar bukan hanya
berasal dari air hujan pada waktu itu saja, tetapi harus
ditambah dengan air yang
tertampung lama sebelumnya dan terkumpul pada lekukanlekukan
di alur-alur lembah. Analisis
Effendi mengatakan bahwa terkumpul volume air
yang cukup besar itu hanya dapat
terjadi apabila terdapat hambatan berupa
pembendungan alam (natural
blockade). Bendungan alam terbentuk secara bertahap di
dalam alur-alur lembah (dengan
lebar >100an meter) oleh akumulasi bahan-bahan
rombakan dari runtuhan batu/tanah
bercampur dengan batang-batang kayu yang tumbang.
Argumentasi Effendi dan
Wirasuganda (1979), kapasitas air terbendung menjadi
melimpah akibat konsentrasi hujan
dalam waktu 3 jam sebesar 180mm, yang
menyebabkan volumenya bertambah
dan terjadi limpahan melalui puncak (over topping)
yang dapat mengakibatkan bendung
alam jebol atau hancur.20
Dalam konteks peringatan dini
longsoran berbasis komunitas di Thailand, khususnya di
wilayah Uttaradit, masyarakat
diberikan rain gauge ditiap komunitas dan angka 150
adalah angka pengambilan
keputusan untuk tiap keluarga harus lari menyelamatkan diri
ke daerah aman. Untuk konteks
Larantuka, angka empirik tersebut perlu ditemukan
secara memadai.
Faktor Gempa. Effendi dan
Wirasuganda mencurigai gempa bumi yang terjadi pada
tanggal 4 November 1975 di
komplek G. Mandiri dan kota Larantuka yang getaran
ikutannya terasa selama hampir
dua minggu, diperkirakan telah mengubah ikatan struktur
batuan di daerah puncak G.
Mandiri. Hal ini menimbulkan kerentanan lingkungan Ili
Mandiri yang mudah dipicu oleh
akumulasi curah hujan jangka pendek dengan intensitas
tinggi.
Kerentanan –
Faktor Eksposure. Umumnya
pada mulut alur-alur ini dimanfaatkan
sebagai daerah perkampungan.
Berada pada moncong-moncong aliran longsor dari Ili
Mandiri, membuat tingkat eksposur
yang sangat tinggi (Lihat gambar 4 dan 7).
“Kedudukan lereng yang demikian
akan mempengaruhi stabilitas lereng yang dibentuk
oleh perselingan antara batuan
lava berkekar rapat dan breksi vulkanik lapuk. Karena
terjadinya perbedaan fisik antara
kedua jenis batuan dan faktor lain yang menggangu
kestabilan lereng, maka proses
runtuhan dapat terjadi sewaktu-waktu pada dinding lereng
tersebut. Gejala runtuhan
batu/tanah terlihat di lembah-lembah alur sekililing G. Mandiri.
Bahan runtuhan pada bagian
dinding lereng sekitar puncak masuk ke dalam lembah aluralur
yang ada. Bahan runtuhan ini
kebanyakan terkumpul pada bagian datar undak-undak
di dalam alur-alur lembah,
sehingga oleh waktu dapat terakumulasi dalam jumlah cukup
besar.”
Sekilas Tentang
Trend Curah Hujan Bulanan Larantuka.
Diasumsikan kualitas data dalam
40 tahun terakhir kualitasnya sama untuk memudahkan
analisis ringkas dalam tulisan
ini. Pembaca yang tidak datang dari spesialisasi keteknikan
mungkin bertanya mengapa kondisi
tahun 1976 di mana komulatif curah hujan Januari
mencapai 907mm namun tidak
terjadi fenomena yang sama dengan February 1978 (total
779mm) atau bahkan total
komulatif curah hujan bulan Februari 1979 hanya mencapai
319 (lihat Gambar 5)? Yang perlu
dicatat, data yang direkam hanya bersumber dari satu
stasiun pencatat curah hujan
sehingga tidak memungkinkan membuat kesimpulan yang
memadai. Sebagai proxy analisis
saja bahwa data curah hujan harian sebagaimana
ditampilkan dalam amatan bulanan
(contoh gambar 5 di atas), untuk kasus 1976 maupun
1974-1975 namun bisa disimpulkan
bahwa curah hujan tahunan yang tinggi ditahun 1976
dapat berkontribusi pada
“penuhnya” bendungan-bendungan alam yang rapuh disekitar
Ile Mandiri (lihat gambar 7).
Dari Gambar 8, secara rata-rata
curah hujan terbanyak terjadi dalam bulan November,
Desember, Januari, Februari dan
Maret. Gambar 9 menunjukan rata-rata jumlah hari
hujan dalam setahun adalah 76
hari atau rata-rata 21% hari hujan dalam setiap tahun.
Walau terdapat data yang
“missing” khusus periode 1979-2005, hal ini menjadi catatan
untuk penelitian lanjutan. Namun
yang dihimpun disini bisa menjadi semacam gambaran
besar bahwa jumlah hari hujan di
Larantuka cukup rendah dalam konteks Indonesia,
walau relatif lebih tinggi
diantara dataran ujung Flores Timur seperti Wulang Gintang
dan Titihena, kecuali kepulauan Solor Timur yang
cenderung lebih tinggi.
4. Kebijakan Publik dan Agenda
Pemerintah di Flores Timur dan
Lembata
Karakter geologis dan morfologi
Kabupaten Flores Timur (baik ujung Timur pulau
Flores, Pulau Adonara dan Solor)
serta kabupaten Lembata adalah daerah yang cukup
dinamis. Sebagai misal, gempa 25
Desember 1982 yang hanya sebesar 5.1 SR dengan
kedalaman ± 33km mampu
meruntuhkan (kategori rusak berat) bangunan sekolah di
Solor dan Adonara sebesar 14
unit, rumah ibadah 23 unit, sarana kesehatan 10 unit,
gedung pemerintah 9 unit, serta
perumahan rakyat untuk rumah permanen rusak total 250
unit, semi permanen rusak total
256 unit dan rumah “darurat” 347 unit. Angka ini belum
termasuk ringan. Total gedung,
bangunan dan rumah baik rusak ringan dan rusak berat
mencapai 2223 bangunan. Sebagian
besar runtuh karena rentan terhadap gempa
sedangkan sebagian karena
tertimbun longsor. (Sumber: Satkorlak Penanganan Bencana
Alam, Propinsi Daerah Tingkat I
Nusa Tenggara Timur, lampiran pada Effendi dkk 1983)
Petikan singkat ini merupakan
sebuah upaya membuka mata bahwa kerentanan fisik
infrastruktur maupun tingkat
eksposur pada kejadian geologis seperti gempa di Flores
Timur dan Lembata merupakan
agenda besar kebijakan publik. Jargon-jargon kepedulian
dari berbagai kalangan baik
pemerintah maupun organisasi non-pemerintah tentang
pengembangan pulau-pulau kecil
sebaiknya diberikan pencerahan tambahan khususnya di
daerah-daerah seperti Pulau Solor
yang karakter geologisnya rentan terhadap goyangan
gempa kecil. Peristiwa gempa akan
dalam skala yang sama maupun yang lebih besar
sangat mungkin terulang lagi.
Tantangannya adalah bagaimana terciptanya kecerdasan
administrasi maupun kecerdasan
kebijakan publik diadakan untuk mengurangi risikorisiko
yang secara aktual sunguh bisa
diraba jauh hari sebelum malapetaka.
5. Kesimpulan
Interaksi antara berbagai faktor
yakni dinamika gunung dan gunung api dari aspek fisik
geologis, morfologis, dinamika
kegempaan dan dinamika iklim lokal yang berkombinasi
dengan aspek dimensi manusia baik
kependudukan (demografis), kerentanan (yang
diukur dari tingkat eksposure
aset dan manusia, terproteksinya sumber-sumber air dan
penghidupan serta tata ruang yang
tidak memperhitungkan kebencanaan, membuat
bencana seolah berkajang karena
akan selalu datang kembali dengan menghasilkan
peristiwa yang membawa duka.
Untuk Lembata, khususnya di
Waiteba maupun secara keseluruhan Lembata, rumusan
yang sama berlaku bahwa kombinasi
dari aspek dinamika geologis, kegempaan, risiko
tsunami dan interaksinya dengan
vulkanik bawah laut maupun di darat, yang terus aktif
merupakan tantangan bagi
kebijakan publik tentang bagaimana membuat masyarakat
tidak secara mencolok terekspos
pada bencana-bencana dengan karakteristik yang sama
di 30 tahun lalu.
Kesimpulan ini tidak dibuat untuk
merampungkan pengetahuan tentang Ile Mandiri atau
tsunami Lembata 30 tahun silam.
Tetapi ditutup dengan pertanyaan pada para peminat
studi bencana maupun peminat
studi NTT maupun pengambil kebijakan, tentang apakah
yang sesungguhnya berubah
ditingkat kelembagaan kita formal maupun informal, dalam
meresponi risiko-risiko yang
tidak terlihat dengan mata awam? Apakah yang berubah
[Journal of NTT Studies] Vol 1
Issue 2: 1 74
dalam 30 tahun terakhir? Apakah
yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dalam
konteks Otonomi Daerah yang
terkenal dengan jargon pemekaran untuk pelayanan yang
lebih baik - Apakah mungkin
kebijakan publi lebih sensitif dengan karakter risiko-risiko
yang lebih lokal?
6. Bibliografi
Barnes, Robert H.
(2005) “ Hongi Hinga and its implications: A war of colonial
consolidation in the
Timor Residency in 1904.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde (BKI)
161-1. 1-39. Diakses 2 November 2009, tersedia di
http://kitlv.library.uu.nl/index.php/btlv/article/viewFile/3069/3830
Barnes, Robert H.
1980 "Concordance, Structure and Variation: Consideration of
Alliance in Kedang.”
In Fox, James J. and Adams, Monni “The Flow of life:
essays on eastern
Indonesia.” Volume 2 of Harvard studies in cultural. Harvard
University Press.
Barnes, Robert H.
(1974) “Kedang: The Study of the Collective Thought of an Eastern
Indonesian People.
Oxford: Clarendon Press
Effendi, Soehaimi and
Kuntoro (1983) “Laporan Gempabumi P. Solor dan P. Adonara,
Flores Timur, 25
Desember 1982.” Seksi Geologi Kuarter dan Seismotektonik,
Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi.
Effendi, A. T. dan
Wirasuganda (1979) “Laporan Bencana Alam Gerakantanah Pada
Komplek Gunung Ile
Mandiri, Larantuka di Flores Timur.” Laporan No. 2091
Direktorat Geologi
Tata Lingkungan – Sub Direktorat Geologi Teknik, Direktorat
Jenderal Pertambangan
Umum, Department Pertambangan dan Energi, Bandung,
Mei 1979.
Elifas, D. Joedo
(1979) “Laporan Hasil Peninjauan Bencana Alam di Selatan Pulau
Lomblen, Kabupaten
Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Laporan No. 2106
September 1979,
Direktorat Geologi Tata Lingkungan Sub Direktori Geologi
Teknik, Department
Pertambangan dan Energi.
Jeffery, Susan E.
(1981) “Our Usual Landslide: Ubiquitous Hazard and Socioeconomic
Causes of Natural
Disaster in Indonesia.” Working Paper 40, Hazard Research
Centre, University of
Colorado. Tersedia online – Akses terakhir tanggal 1 Nov
2009 di http://www.colorado.edu/hazards/publications/wp/wp40.pdf
Koesoemadinata, S.
dan Noya, Y. (1990) “Geology of the Lomblen Quadrangle, East
Nusatenggara.”
Indonesian Geological Research and Development Centre.
Prawirodisastro M.,
et.al., (1979) “Laporan singkat Bencana Alam di Larantuka,
Kabupaten Flores
Timur, DPU Propinsi DT I Nusa Tenggara Timur.”
van Bemmelen, R. W.
(1949) “Report on the Volcanic Activity and Volcanological
Research in Indonesia
during the period 1936-1948.” Bulletin of Volcanology,
Volume 9, Number 1 /
December, pp. 3-29.
Westgate, K. and O’Keefe, Phil (1976).
Some Definitions of Disaster. Occasional
Lampiran
Laporan Bencana
Alam Gerakantanah Pada Komplek Gunung Ile
Mandiri,
Larantuka di Flores Timur21
Oleh A.T.
Effendi dan Soleh Wirasuganda
1. Pendahuluan
Berita mengenai bencana alam di
Larantuka di Flores Timor yang terjadi pada tanggal 27
Februari 1979 telah menjadi
berita nasional yang penting pada awal bulan maret 1979,
baik yang dimuat dalam berbagai
surat-surat kabar maupun melalui siaran TVRI.
Bencana alam, ini dianggap cukup
besar karna besarnya penderitaan yang dialami oleh
masyarakat setempat, baik secara
lahiriah maupun batiniah. Penderitaan batiniah akibat
kehilangan harta benda dan jiwa,
dan lahiriah oleh akibat terganggunya ketenangan hidup
masyarakat disana.
Dalam rangka ikut membantu
menangani bencana alam di komplek Ili Mandiri, direksi
geologi tata bangunan telah
menugaskan kedua penulis laporan yang dibantu oleh
saudara Sugiharo N, B.Sc untuk
mengadakan penilitian ke daerah dimaksud. Masalah
yang ditangani adalah
gerakantanah dan pengadaan air rumah tangga.
Pengarahan dalam rangka
penanggulangan bencana longsor telah diberikan langsung oleh
Direktur Direktorat Geologi Tata
Lingkungan dan Kepala Sub Direktorat Geologi
Teknik. Penilitian dilapangan
dilakukan antara tanggal 9 - 11 maret 1979 di daerah
komplek G. Mandiri dan Bama.
2. Keadaan
Wilayah
Letak geografi,
pemerintah dan perhubungan. Kota larantuka adalah ibukota
Kabupaten Flores Timur yang
terletak kira-kira pada garis 8o23’ Lintang Selatan serta
123o Bujur Timur. Di sebelah
Timur dibatasi oleh selat Flores, di sebelah selatan oleh
selat Lewotobi, dan di utaranya
terdapat komplek Gunung (Ile) Mandiri.
Secara administratif Flores Timur
termasuk dalam daerah Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Daerah bencana Larantuka meliputi
komplek Gunung Mandiri, termasuk kecamatan
Larantuka dan Perwakilan
Kecamatan Ile Mandiri. Kedua daerah kecamatan tersebut
mempunyai luas wilayah lebih
kurang 296 km².
Kota larantuka dapat di capai
dari Kupang melalui jalan laut maupun udara. Kota tersebut
dapat dicapai pula dari maumere lewat
darat, laut dan udara.22 Sistim jaringan jalan di
Flores Timur terdiri dari 66 km
jalan negara menghubungkan Larantuka- Maumere, 87
km jalan propinsi dan sepanjang
304 jalan Kabupaten. Jalan negara hanya beraspal lebih
kurang sejauh 10 km dari Larantuka
ke Oka. Selebihnya diperkeras dan termasuk jalan
kelas III dengan lebar 4-5 m
serta berkemampuan tekanan gandar lebih kurang 3,5 ton.
Pada beberapa tempat sepanjang
jalan Negara tersebut nampak gejala-gejala
kemungkinan badan jalan akan
longsor.23 Kota Larantuka mempunyai pelabuhan kapal
laut yang memiliki fasilitas
terbatas, hanya dapat melayani kapal laut berbobot 100 ton
dan perahu-perahu layar.
Hubungan lewat udara ke kota ini
dilayani oleh penerbangan perintis lewat Kupang ke
Larantuka dengan pesawat jenis Twin
Otter atau yang berukuran kecil. Lapangan terbang
perintis lebih kurang 12 km
disebelah timur laut Larantuka. Menurut keterangan,
pelayanan penerbangan dimulai
sejak tahun 1976 oleh Merpati Nusantara Aielines
(MNA) dua kali seminggu dan sewaktu-waktu
dilayani pula perusahan penerbangan DAS
(Dirgantara Air Service).
Penduduk, mata
pencarian dan penggunaan tanah. Penduduk Kecamatan Larantuka
dan perwakilan Kecamatan Ile
Mandiri terdiri dari 25 buah desa dengan jumlah penduduk
lebih kurang 27.444 jiwa (4.235
Kepala Keluarga). Jadi kepadatan penduduk rata-rata 93
jiwa/km², rata-rata satu keluarga
mempunyai anggota 4 – 6 jiwa. Keseluruhan penduduk
menempati 2.230 buah rumah, yang
berarti bahwa tiap rumah rata-rata dihuni lebih
kurang 2 keluarga. Mata pencarian
penduduk umumnya sebagai petani kecil, sedangkan
selebinya sebagai pegawai negeri,
pegawai perusahan, pedagang, buruh dan nelayan.
Makanan pokok utama adalah
jagung.
Komplek Ile Mandiri mulai dari
bagian puncak gunung hingga ke kakinya dapat di bagi
menjadi 4 zona penggunaan tanah24
sebagai berikut :
Zona pertama, dibagian puncak
pada daerah terjal dibentuk oleh batuan lava dan breksi
vulkanik dengan tanah lapukan
yang tipis (kurang dari 0,5 meter). Daerah ini seluruhnya
tertutup hutan lebat.
Zona kedua, daerah bergelombang
sampai curam pada tubuh gunung, dibentuk perlapisan
batuan dari perselingan antara
lava dan breksi vulkanik kurang kompak serta bahan
rombakan. Tergantung dari
tempatnya, tanah lapukan mempunyai tebal berkisar antara
0,5 – 2 m. Daerah ini tertutup
hutan belukar dan sedikit rumput, tempat penggembalaan
hewan. Hutan belukar disini
merupakan cadangan untuk perladangan.
Zona ketiga, daerah landai
dibagian kaki gunung yang batuannya dibentuk oleh bahan
rombakan dan endapan aluvial. Daerah
ini digunakan sebagai kebun tumpang sari
(jagung, pado gogo ranca,
palawija lainnya dan sayuran) dan sebagiannya masih berupa hutan belukar untuk
tanah cadangan penanaman tahun berikutnya. Sebagian kecil daerah
ini dipakai juga perkampungan
penduduk.
Zona keempat, daerah dataran
pantai dan dataran antar gunung yang dibentuk oleh
endapan aluvium pantai dan
aluvium lembah. Daerah ini dipakai untuk tempat
pemukiman penduduk, sarana jalan,
lapangan terbang, kebun campuran dan sedikit hutan
belukar untuk penggembalaan
ternak.
Iklim dan curah
hujan. Larantuka
dipengaruhi oleh dua musim, yaitu musim barat
(musim hujan) dan musim timur
(musim kemarau). Musim barat berlangsung antara
bulan Januari dan Maret. Pada
saat itu bertiup angin barat cukup kencang dan
menimbulkan banyak hujan jatuh.
Kadang-kadang disekitar bulan Januari atau Februari
terjadi angin kencang (ribut)
yang dapat berlangsung 7 – 15 hari, yaitu yang biasa disebut
angin barat Oka di bagian selatan
Komplek Ile Mandiri dan angin Barat Mulobang
dibagian utaranya. Angin barat
yang bertiup kencang tersebut sering menimbulkan
kerusakan pada tanaman dan
perumahan penduduk , serta mengganggu kelancaran
lalulintas di laut. Angin musim
timur yang umumnya kering bertiup tidak sekencang
angin barat dan berlangsung
antara bulan Juni dan Juli. Dalam bulan-bulan Agustus
hingga Oktober bertiup angin
tenggara. Pada bulan April, Mei, Agustus dan September
bertiup angin pancaroba yang
arahnya tidak tentu.
Suhu udara sepanjang tahun di
Larantuka berkisar antara 200 -300 C, namun pada bulan
Juli sampai Oktober suhunya dapat
mencapai 320C pada siang hari dan 180C pada malam
hari. Menurut Schmidt dan
Perguson (1951), Larantuka mempunyai tipe curah hujan E
yang kering. Banyaknya hari hujan setahun rata-rata
75 hari (lihat grafik dibawah)
Curah hujan terbanyak terjadi
dalam bulan Januari, Februari dan Maret. Musim hujan
umumnya dimulai pada bulan Oktober hingga April.
Dari catatan curah hujan bulan-
bulan Januari dan Februari 1979
terjadi curah hujan masing-masing sebesar 237 dan 319
mm dengan jumlah hari hujan
sebanyak 16 dan 13 hari. Pada hari dimana terjadinya
bencana alam larantuka 27
Februari 1979 tercatat curah hujan sebesar 180 mm (lihat
Gambar 1 dan 2). Daerah Larantuka
termasuk daerah agak basah jika dibandingkan
dengan daerah lain di Flores
Timur.
3. Morfologi dan
Geologi
Morfologi. Secara
morfologi, Gunung (atau Ili) Mandiri merupakan bekas gunung api
berbentuk kerucut, terletak
tersendiri di sebelah timur P. Flores, berdinding terjal
dibagian atasnya dan makin melandai
ke arah kaki. Pengamatan dari bagian puncak
gunung dengan helipkopter
ternyata tidak menunjukan adanya danau kawah. Gunung
mandiri (+ 1.501 m) merupakan
bentuk gunung api strato yang sudah tidak aktif lagi dan
material pembentukannya terdiri
dari perselingan lapisan batuan lava dan breksi volkanik
mulai dari bagian puncak, daerah
tubuhnya, hingga bagian kaki gunung. Perselingan
lapisan batuan lava dan breksi
volkanik tersebut menunjukan sudut kemiringan 3o -5o.
Dibagian atas gunung mulai dari
puncak, kemiringan dinding lerengnya berkisar antara
80o – 70o, bahkan ada yang hampir
tegak. Pada bagian tubuh di tengah agak melandai
sekitar 30o – 20o dan pada
dataran sempit sepanjang pantai yang mengililingan kaki
gunung lebih kecil dari 5o. Jarak
lurus rata-rata dari puncak gunung ke garis pantai lebih
kurang 4 km. Di bagian selatan,
barat dan utara terdapat dataran sempit dengan lebar 300-
400 m, sedangkan dibagian timur
lebarnya lebih kurang 1 km.26
Pola penyaluran air dikomplek G.
Mandiri berbentuk radial dengan puncaknya sebagai
pusat. Alur-alur lembahnya yang
kering dan hanya berair pada waktu musim hujan
mempunyai dinding lembah yang
curam dan dalam. Satu-satunya alur lembah yang selalu
berair terdapat dibagian timur
lereng G. Mandiri, karna pada bagian lereng yang terjal
muncul mataair yang kemudian
mengalir ke suatu sungai yang melewati Kp. Oka.
Mataair ini diturap oleh penduduk
untuk keperluan air minum, namun kini telah hancur
oleh runtuhan batu pada waktu
terjadi bencana. Pada lembah-lembah alur-alur tersebut,
terdapat 5 -6 jeram atau
undak-undak yang tingginya berkisar antara 5 – 20 meter. Pada
alur lembah terlihat sering
terjadi runtuhan batu dan breksi lapuk dan bertumpuk pada
dasar lembah pada bagian
undak-undak tersebut.
Geologi. Komplek G. Mandiri
merupakan bekas gunung api strato yang dibentuk oleh
hasil kegiatan gunung api masa
lampau. Batuannya terdiri perselingan antara lava
basalto-andesit dan breksi
vulkanik. Lava berwarna abu-abu dan kemerahan, berkekar
rapat sehingga mudah terlepas
menjadi bongkah-bongkah besar maupun kecil. Breksi
vulkanik berwarna kuning
keputihan, komponennya terdiri dari pecahan batu basalt dan
andesit berukuran kerikil hingga
bongkah serta sedikit batu apung dengan masa dasar
pasir tufaan. Pada bagian kaki
gunung dengan daerah perbukitan bergelombang
menengah terdapat bahan rombakan
(debris). Kemudian di dataran rendah di endapkan
bahan rombakan dan endapan
aluvium berumur Resen, terdiri dari campuran bongkah
batu, kerikil, pasir dan lempung.
Di kaki bagian timur komplek G. Mandiri di daerah
rendah dijumpai singkapan batu gamping terumbu yang
berbentuk suatu punggungan
kecil, Pada mulut alur-alur
terdapat endapan aluvium berbentuk kipas. Umumnya kipas
aluvium ini dimanfaatkan sebagai
daerah perkampungan.
4. Masalah Gerakantanah
Jenis dan
sebab-sebab gerakantanah. Dari hasil pengamatan dilapangan diketahui
bahwa bencana alam longsoran
batu/tanah (debris avalnche) di Larantuka yang berasal
dari tebing-tebing dekat bagian
puncak G. Mandiri tergolong jenis tanah dan batu yang
bercampur dengan air hujan
berkumpul dalam alur-alur lembah, kemudian meluncur ke
bawah sehingga merupakan suatu
banjir bandang. Gerakantanah berupa longsoran
setidaknya dapat dilihat
hubungannya dengan parameter yang menjadi penyebanya
seperti : morfologi atau keadaan
lereng, geologo (jenis batuan, stratigafi dan struktur
batuan), curah hujan atau
keairan, kegempaan dan penggunaan tanah atau vetigasi.
Keempat variabel pertama alam dan
yang kelima berhubungan dengan segala tindakan
manusia. Parameter tersebut
diatas saling berkaitan dengan proses terjadinya
gerakantanah.
Dari uraian terdahulu pada bagian
2 dan 3, jelas bahwa untuk komplek G. Mandiri
terdapat kombinasi dan interaksi
antara parameter tersebut diatas. Ternyata kondisi
wilayah mengarah ke pengaruh yang
tidak menguntungkan.
Morfologi bagian puncak G.
Mandiri merupakan tebing curang hingga terjal dan bahkan
hampir terjal. Kedudukan lereng
yang demikian akan mempengaruhi stabilitas lereng
yang dibentuk oleh perselingan
antara batuan lava berkekar rapat dan breksi vulkanik
lapuk. Karena terjadinya
perbedaan fisik antara kedua jenis batuan dan faktor lain yang
menggangu kestabilan lereng, maka
proses runtuhan dapat terjadi sewaktu-waktu pada
dinding lereng tersebut. Gejala
runtuhan batu/tanah terlihat di lembah-lembah alur
sekililing G. Mandiri. Bahan
runtuhan pada bagian dinding lereng sekitar puncak masuk
ke dalam lembah alur-alur yang
ada. Bahan runtuhan ini kebanyakan terkumpul pada
bagian datar undak-undak di dalam
alur-alur lembah, sehingga oleh waktu dapat
terakumulasi dalam jumlah cukup
besar.
Pada bagian lereng atas dan
puncak G. Mandiri terdapat hutan tua dan lebat dengan
sendirinya menambah beban pada
permukaan lereng terjal. Karna tanah penutupnya tipis
maka daya ikat pepohonan terhadap
batuan dasarnya tidak kokoh. Akibat goncangan
musim barat yang bertiup kuat
dalam waktu cukup lama, maka pohon-pohon tua dari
hutan tutupan akan mudah tumbang
dan tentu saja disertai longsoran tanahnya pada
bagian lereng atas gunung seperti
tampak jelas terlihat dilapangan.
Karena kondisi serupa terdapat di
seputar lereng dan puncak G. Mandiri, maka dapat
dipahami kalau terjadi runtuhan
serempak pada bagian lembah-lembah alur yang ada.
Bencana gempa bumi yang terjadi
pada tanggal 4 November 1975 di komplek G. Mandiri
dan kota Larantuka yang getaran
ikutannya terasa selama hampir dua minggu, tidak
mustahil merubah juga ikatan
struktur batuan di daerah puncak G. Mandiri. Menurut
keterangan penduduk setempat
gempabumi tersebut terasa kuat, sehingga faktor
kegempaan didaerah ini tentu ikut
menentukan pula proses terjadinya gerakantanah.
Menurut peta Tektonik Kwarter dan
zona seismik di indonesia (KATILI) et.al., 1970
daerah Flores Timur termasuk daerah jalur gempa
berskala intensitas VII – VIII Tossi
Forel, yang dapat mempunyai
percepatan horisontal antara 0,05 – 0,1 g. Jadi jelas daerah
ini termasuk pada jalur gempa
bumi.
Curah hujan sebelum terjadi
bencana tercatat sangat tinggi, yaitu dalam waktu kurang
lebih 3 jam mencapai 180 mm.
Keadaan ini memacu terjadinya longsoran pada tebing
lereng yang curam, dan
kemungkinan terjadi banjir bandang. Melihat akibat banjir
bandang yang terjadi, nampaknya
air permukaan dengan volume yang begitu besar bukan
hanya berasal dari air hujan pada
waktu itu saja, tetapi harus ditambah dengan air yang
tertampung lama sebelumnya dan
terkumpul pada lekukan-lekukan di alur-alur lembah.
Terkumpul volume air yang cukup
besar itu hanya dapat terjadi apabila terdapat
hambatan berupa pembendungan alam
(natural blockade). Bendungan alam terbentuk
secara bertahap di dalam
alur-alur lembah oleh akumulasi bahan-bahan rombakan dari
runtuhan batu/tanah bercampur
dengan batang-batang kayu yang tumbang. Pada suatu
saat air terbendung itu akan
melimpah karena volumenya bertambah dan terjadi limpahan
melalui puncak bendung alam
(gejala over topping) yang dapat mengakibatkan bendung
alam jebol atau hancur. Bahan
rombakan bercampur air ini waktu meluncur ke bawah
akan bertambah volumenya, karna
disamping menyeret tumpukan bahan sepanjang alur
juga mengikis secara lateral
bagian dasar dan dinding lembah yang mudah runtuh.
Akhirnya material bercampur air
ini di mulut lembah mengikis bahan endapan rombakan
lama sehingga jumlah bertambah
banyak dan menjadikan banjir bandang dengan
kecepatan aliran yang deras dan
melanda segala sesuatu yang ada di mulut lembah
tersebut. Menurut keterangan
penduduk banjir bandang seperti ini pernah terjadi pada
tahun 1908, 1938 dan
berturut-turut pada tahun 1978 dan 1979.
Daerah bencana. Bencana banjir
bandang ini telah melanda sebagian kota Larantuka
dengan perkampungan yang padat
penduduknya maupun bangunan dan kampungkampung
dan desa-desa di komplek kaki G.
Mandiri. Bencana ini telah menyebankan
korban manusia yang cukup besar,
baik yang meninggal atau luka-luka maupun yang
hilang dan terpaksa mengungsi ke
tempat lain. Catatan terakhir adalah : 99 orang
meninggal, 150 orang luka-luka
berat, 195 orang luka-luka ringan, 45 orang menghilang
dan 8.750 orang mengungsi.
Sekitar 20 buah desa telah
terkena bencana, diantara 8 desa hancur atau rusak berat.
Desa-desa tersebut terletak tepat
pada jalur-jalur banjir, 10 buah jalur cukup lebar dan 7
jalur kecil dan sempit. 3 buah
jalur telah melanda kota Larantuka dan sekitarnya sehingga
mengakibatkan hampir 50 % dari
kota larantuka hancur
Dari pengamatan dilapangan
ternyata kebanyakan tempat tinggal penduduk dan kebun
campuran berada di muka mulut
lembah alur-alur kering yang batuan dasarnya dibentuk
oleh bahan rombakan lama
berbentuk kipas aluvium. Pemilihan pemukiman di daerah
dapat di pahami, karna daerahnya
agak datar dan mudah mendapatkan airtanah, namun
penduduk tidak menyadari bahwa
tempat-tempat tersebut sewakyu-waktu dapat terancam
bahaya banjir bandang. Pada
dasarnya banjir bandang besar yang terjadi tanggal 27
Februari 1979 adalah merupakan
pengulangan banjir bandang 26 February 1978, yang
berukuran lebih kecil, dengan
sedikit pergeseran dan dan panambahan alur banjirnya.
Kemungkinan terjadi banjir
bandang pada masa akan datang masih ada, dan akan
berulang pula pada tempat-tempat
tersebut dengan kemungkinan terjadi sedikit
[Journal of NTT Studies] Vol 1
Issue 2: 1 81
pergeseran alirannya. Untuk itu
jalur-jalur daerah bahaya telah di patok di lapangan agar
tidak dihuni orang lagi.
Banjir bandang yang terjadi
tanggal 27 Februari 1979 telah melalui 10 jalur dan melanda
antara lain desa-desa : Pontoh,
Lahayong, Balela, Waibalung, Lawamalang, Wailolong,
Lewoleba, Riangkemia, Lewohala,
Lewonoda dan Wawowuti. Disamping itu terdapat
sekitar 7 jalur kecil yang tidak
menyangkut kampung.
Pada umumnya lebar jalur yang
melanda daerah-daerah tersebut di ats sekitar 100 – 350
meter. Jumlah material rombakan
yang terangkut dan menimbun daerah komplek G.
Mandiri di perkirakan sekitar 10
juta meter kubik.
Masalah Air
Rumah Tangga. Bencana
alam di komplek G. Mandiri telah merusak pula
pipa jaringan air minum larantuka
yang berasal dari mataair Matereto. Jaraknya dari kota
Larantuka tidak kurang dari 30
km. Kerusakan terjadi pada bangunan penurapan mataair
Wae Kamea, di daerah kaki barat
G. Mandiri (lampiran 5). Akibatnya kebutuhan air
untuk penduduk kota Larantuka dan
sekitarnya tidak dapat di penuhi lagi. Sumber lainya,
seperti air sumur gali sangat
kurang.
Hidrogeologi. G. Mandiri dan
sekitarnya apabila di tinjau dari faktor morfologi,
penyebarab batuan, vegetasi dan
keadaan curah hujan secara hidrogeologi dapat
dibedakan menjadi dua wilayah
airtanah yaitu wilayah airtanah pebukitan dab wilayah
airtanah dataran.
Puncak tertinggi adalah G.
Mandiri. Dibagian puncak dan lereng berhutan lebat
sedangkan di bagian kaki hanya
ditumbuhi semak belukar dan padang rumput. Di daerah
puncak dan lereng pembentukan
airtanah belum banyak terjadi karena medannya curam.
Apabila terjadi hujan pengaliran
permukaan menjadi lebih menonjol. Di daerah kaki
peresapan ke bawah sudah lebih
banayak terjadi kalau dibandingkan dengan pengairan di
permukaan.
Airtanah tertekan atau artolis di
wilayah airtanah pebukitan tidak akan di temukan,
sebaliknya airtanah tidak
tertekan pada daerah-daerah lembah atau dataran yang sempit
masih mungkin ditemukan. Biasanya
kedudukan muka airtanahnya dalam karna
mengikuti topografi setempat.
Contoh airtanah tidak tertekan atau biasa didebut airtanah
bebas adalah air dalam sumur gali
milik penduduk setempat (lihat peta lampiran 6 ).
Dengan mempertimbangkan morfologi,
penyebaran batuan, vegetasi dan penguapan di
wilayah ini, di perkirakan hanya
10% dari air hujan yang jatuh di wilayah ini meresap di
dalam tanah atau batuan dan akan
mengalir sebagai airtanah. Dengan mengambil data
curah hujan setahun 1750 mm, maka
setiap satu km² luas wilayah ini dapat
diperhitungkan banyaknya airtanah
tang mengalir adalah :
10% x 1.750 x 106 m3 = 175.000
m3/tahun atau 15,81 m3 / jam
Dari angka tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa kandungan airtanah di wilayah ini
sangat kecil. Air tanah tersebut
diatas akan muncul di daerah rendah sebagai rembesan
atau mataair dengan debit umumnya
kurang dari 20 l/det (gambar). Mataair semacam ini
terdapat di daerah lava
berongga-rongga atau di ujung curah atau tekuk pada lereng
akibat terpotongnya aliran
airtanah oleh topografi setempat. Mataair Matareto telah
dimanfaatkan airnya untuk air
minum kota Larantuka dan oleh penduduk di sekitarnya.
Sejak terjadinya longsor besar di
lereng G. Mandiri sebagian besar pipa saluran airnya
[Journal of NTT Studies] Vol 1
Issue 2: 1 82
terputus di hanyutkan lumpur dan
batuan. Bangunan penurapan mataair Wae kameapun
hancur terimbun longsor. Meskipun
demikian mataair tersebut tetap berair. Hal mana di
buktikannya masih mengalir air di
sungai oka yang bersumber pada mataair Wae Kemea.
Wilayah airtanah
dataran. Wilayah
airtanah dataran terdapat disebelah barat, timur dan
timur laut G. Mandiri. Pada
umumnya luas terbatas pada ketinggiannya kurang dari 100
meter dari muka laut. Airtanah
dataran terbentuk terbentuk di daerah batuan yang berasal
dari aliran sungai dan endapan
pantai. Vegerasi penutupnya berupa tanah campuran atau
berupa tanah pesawahan.
Kemiringan medan di dataran rendah ini umumnya kurang dari
50.
Satuan batuan yang menutupi
daerah+ ini adalah satuan batuan aluvium yang terdiri
antara lain dari lempung, lempung
pasiran, pasir, kerikil dan hasil rombakan dari daerah
kaki gunung. Di daerah dataran
pantai batuannya terdiri dari aluvial pantai.
Airtanah bebas di daerah dataran
mudah ditemukan, misalnya dengan cara membuat
sumur gali sedalam kurang dari 15
meter. Sebagai contoh sumur gali yang mutu airnya
cukup baik terdapat di Weri dan
Kebonsirih (Gb. 6). Air jernih, tidak berbau, rasanya
tawar. Pada beberapa sumur gali
milik masyarakat airnya terasa payau, ;leh kontaminasi
air laut. Contoh sumur gali gali
demikian dapat di jumpai di desa Pantai besar.
Airtanah tertekan atau air artois
di dataran sekililing G. Mandiri belum di ketahui dengan
pasti karna penilitian dengan
cara pemboran maupun penelitian geolistrik belum pernah
dilakukan. Berdasarkan
faktor-faktor kemiringan medan, vegetasi penutup, pengaliran air
permukaan, penguapan, jenis
batuan serta jumlah curah hujan di wilayah G. Mandiri
(sekitar 1000 mm setahun), untuk
wilayah ini dapat dihitung banyaknya airtanah yang
mengalir ke bawah untuk daerah
seluas 1 km2 sebesar :
30 % x 1000 x 106 m3 = 300.000
m3/tahun atau 34,25m3/jam
Dengan memperhitungan aliran
airtanah dari daerah tanah (kakai pebukitan disekitarnya)
tentu angka tersebut di atas akan
bertambah besar lagi, sehingga dapat diharapkan bahwa
daerah dataran rendah sebelah
barat maupun timur komplek G. Mandiri adalah
merupakan tempat akumulasi
airtanah yang potensial.
Pada waktu bencana longsor
menimpa larantuka penduduk mengalami kekurangan air
bersih. Ini bukan disebabkan
tidak tersedianya sumurgali melainkan pada waktu pipa
saluran air bersih ke kota
Latantuka selesai penduduk sempat berlomba-lomba
menimbuni sumurgalinya.
Keadaan sumber
persediaan air keperluan rumah tangga bagi kota Larantuka.
Mataair Matareto adalah sumber
air untuk kota Larantuka. Pipa saluran air ke kota yang
terputus akibat longsor apabila
diperbaiki kembali masih dapat mengalirkan air dari
mataair Matareto ke kota
Larantuka.
Khusus untuk mataair Wea Kamea
perlu diperbaiki bangunan penurapannya yang hancur
akibat tertimbun bahan longsoran.
Selama ini sumberair tersebut di pergunakan oleh
penduduk Wailolong dan sekitarnya
untuk kebutuhan air minum.
Di samping persediaan air dari
sumber mataair, masih ada sumber air lainnya yang
berasal dari sumur gali. Di
daerah dataran rendah terdapat banyak sumur gali baik di kota
Larantuka maupun desa-desa yang
telah ditimbuni. Sekarang perlu dibersihkan, dan
[Journal of NTT Studies] Vol 1
Issue 2: 1 83
digali kembali atau membuat sumur
gali yang baru. Kedalaman sumur gali dan mutu
airnya biasanya tidak jauh
berbeda dengan sumur gali yang ada disekitarnya.
5. Kesimpulan
dan Saran-Saran.
Bancana alam gerakan tanah di
komplek G. Mandiri termasuk jenis runtuhan batu dan
lapukan. Bahan-bahan ini kemudian
bercampur dengan air dan menjelma menjadi banjir
bandang. Keadaan lingkungan G.
Mandiri dilihat dari segi morfologi, geologi (keadaan
batuan), vegetasi penutup dan
intensitas curah hujan merupakan faktor-faktor utama
penyebab terjadinya longsoran
atau runtuhan
Proses longsoran ini menjadi
bencana, karena telah melanda daerah pemukiman
penduduk yang padat. Letak
pemukiman-pemukiman ini di mulut jalur lembah berbentuk
kipas aluvium yang sewaktu-waktu
dapat terancam bahaya banjir bandang.
Pada dasarnya banjir bandang yang
terjadi pada 27 Februari 1979 merupakan
pengulangan peristiwa banjir
bandang yang terjadi pada tahun 1978. Ukurannya lebih
besar dan telah terjadi sedikit
pergeseran dari alur lama.
Kemungkinan terjadinya banjir
bandang pada masa yang akan datang masih ada, karena
itu perlu diadakan pengontrolan
dan pengawasan terhadap alur-alur yang mengakibatkan
bencana tersebut. Alur-alur
lembah ini potensial untuk gejala longsoran dan runtuhan,
terutama pada waktu musim hujan.
Bila terjadi runtuhan kecil sebaiknya runtuhan
material ini disingkirkan supaya
jalan air pada waktu turun hujan lancar. Hal ini perlu
untuk mencegah terbentuknya
bendungan alam yang kemudian dapat menjelma menjadi
banjir bandang.
Secara hidrogeologi, di wilayah
air tanah perbukitan tidak akan dijumpai air tanah
tertekan. Kemungkinan hanya
terdapat air tanah bebas di lembah-lembah dengan muka
airtanah diperkirakan lebih dari
5 meter di bawah permukaan tanah setempat.
Mataair Matareto (sumber air
minum kota Larantuka), Wae kebo dan Wae Kamea tetap
akan mengalir. Air dari ketiga
mataair tersebut dapat dialirkan kembali kepada konsumen
setelah ada perbaikan pipa yang
hancur dan terputus. Khusus untuk mataair Wae Kamea
perlu diperbaiki juga
penurapannya karna hancur dan tertimbun longsoran G. Mandiri.
Untuk menghadapi krisis air,
sumur gali yang ada (ditambah dengan sumur gali yang
baru) dapat dimanfaatkan. Mutu
air sumur gali di daerah ini cukup bauk.
Disaränkan untuk tidak
memanfaatkan lagi jalur-jalur bekas aliran banjir bandang,
terutama untuk pemukiman. Daerah
ini berbahaya karna kemungkinjan dapat terulang
kembalinya bencana masih ada.
Bekas jalur-jalur banjir bandang
di atur sedemikian rupa sehingga kalau terulang kembali
banjir, alurnya tetap pada
jalurnya yang ada dan dipertahankan supaya tidak bergeser atau
beralih kesampingnya. Caranya
yaitu alur yang ada sekarang tetap dipertahankan dan
diperlebar sedemikian rupa agar
material yang terangkut tersalurkan dengan baik.
Agar ditingkatkan kesiagaan
masyarakat dan pemerintah setempat untuk menghadapi
kemungkinan timbulnya kembali
bencana yang serupa. Penataan Kota dan daerah dapat
dilaksanakan setelah sarana jalan
yang terkena bencana diperbaiki dan pemukiman
penduduk diatur kembali.
[Journal of NTT Studies] Vol 1
Issue 2: 1 84
Barak-barak penampungan pengungsi
dan pemukiman yang baru dapat ditempatkan
dibagian timur kaki G. Mandiri
(sekitar Kp. Weri), dengan memperhatikan pula alur-alur
sungai kering yang mungkin dapat
menimbulkan bahaya dikemudian hari.
Pengelolaan hutan tutupan di G.
Mandiri perlu dipikirkan oleh instansi yang
bersangkutan agar pada daerah
tersebut dapat dimantapkan lerengnya dari kemungkinan
bahaya longsoran pada masa yang
akan datang.
Jalan-jalan yang terputus oleh
jalur-jalur banjir bandang kalau dibuat secara permanen di
kawatirkan akn terjadi kerusakan
kembali. Ini perlu diperhitungkan.
Agar masalah bencana G. Mandiri
dapat diselesaikan secara tuntas , perlu diadakan
penilitian yang lebih seksama
mengenai penyebab dan akibat yang dapat ditimbulkan
oleh bencana alam yang sekarang
dan kemungkinan di kemudian hari oleh instansiinstansi
yang berwewenang. Hal ini
menyangkut masa depan kota Larantuka dan
penduduk secara langsung.27
6. Daftar Bacaan
Laporan
Ehrat H. 1925 : “Geologikal and
Mining Surveys in the island of Flores”, Yaarboek
Mijnwesen 1925. Vehr. II, pp. 231
-315, Dienst van Mijnbouw, Bandung.
Joedo D. ELIFAS. 1978 : Lapotan
peninjauan gerakantanah di Komplek Ile Mandiri,
Larantuka Kabupaten Flores Timur.
(Laporan Sub. Dit. GTH No. 2038).#
Soetrisno S. 1977 : Laporan
Pemetaan Hidrogeologi P. Flores, Nusa Tenggara Timur.
(Laporan Sub. Dit. GTH No. 1977)
Prawirodisastro M., et.al., 1979:
Laporan singkat Bencana Alam di Larantuka, Kabupaten
Flores Timur, DPU Propinsi DT I Nusa Tenggara Timur.
Kabupaten Flotim
|
Written by Administrator
|
Tuesday, 20 April 2010
|
|
Peta kabupaten
Kondisi Umum
- Kondisi geografis : Kabupaten Flores Timur terletak antara 08o 04’ - 08o 40’ LS dan 122o 38’ - 123o 57’ BT. Luas wilayah daratan 1 812,85 Km2 tersebar di 17 pulau (3 pulau yang dihuni dan 14 pulau yang tidak dihuni). Flores Timur memilki 4 gunung berapi, yaitu Gunung Lewotobi Laki-laki, Gunung Lewotobi Perempuan, Gunung Leraboleng serta Gunung Boleng.
- Iklim : Beriklim Tropis dengan curah Hujan sekitar 60 – 150 hari per tahun dengan dedalaman 500 – 2000 mm per tahun
- Jumlah penduduk : 238.166 jiwa (2009)
- Laki-laki : 112.827 jiwa
- Perempuan : 125.339 jiwa
Wilayah administrasi
- Jumlah kecamatan : 18 Kecamatan
- Nama-nama kecamatan : Wulang Gitang, Titehena, Ilebura, Tanjung Bunga, Lewolema, Larantuka, Ile Mandiri, Demon Pagong, Solor Barat, Solor Timur, Adonara Barat, Wotanulumado, Adonara Tengah, Adonara Timur, Ile Boleng, Witihama, Kelubagolit, Adonara
- Jumlah kelurahan : 17 Kelurahan
- Nama-nama kelurahan :
- Jumlah desa : 209 Desa
- Nama-nama desa :
Potensi Daerah :
- Pertanian : Komoditi tanaman pangan dengan produksi terbesar adalah ubi kayu (34 322 ton), jagung (30 557 ton), padi ladang (24 329 ton). Padi sawah hanya sebesar 795 ton. Kacang tanah, ubi jalar dan kacang hijau masing-masing sebesar 2 532 ton, 1 370 ton dan 1 057 ton.
- Perkebunan : Beberapa komoditi perkebunan yang menonjol di Flores Timur adalah kelapa, jambu mete, kemiri, pinang dan kakao. Produksinya masing-masing 9 498 ton, 10 424 ton, 872 ton, 80 ton dan 686 ton. Beberapa jenis rempah seperti lada, vanili dan pala, produksinya belum cukup banyak. Demikian pula dengan jarak pagar dan kapuk.
- Peternakan : Ternak besar belum diusahakan secara maksimal di Flores Timur. Hanya sapi dan kuda yang menonjol, jumlahnya masing-masing mencapai 2 006 ekor dan 1 178 ekor. Ternak kecil terutama babi dan kambing cukup besar populasinya mengingat erat kaitannya dengan budaya setempat. Babi tercatat sebanyak 80 908 ekor dan kambing sebanyak 62 038 ekor.
Berdasarkan analisis
probabilistik mengenai wilayah kegempaan, Propinsi NTT terkategori
sebagai wilayah 6 (enam). Wilayah
6 (enam) merupakan daerah yang mempunyai potensi paling
tinggi untuk mengalami gempa
tektonik yang dapat menyebabkan tsunami. Wilayah ini dilalui oleh
patahan lempeng benua dan
samudera yang mengakibatkan sering terjadi gempa tektonik berskala
besar yang diikuti gelombang
tsunami. Menurut data historis, wilayah NTT dibandingkan dengan
daerah berpotensi gempa tektonik
yang menyebabkan tsunami di Indonesia, sejak tahun 1973
sampai sekarang telah terjadi
sekitar 18 kali gempa bumi yang merusak dan kejadian tsunami. Data
historis lainnya, sejak 1814
hingga kini telah terjadi 25 kali gempa bumi dan beberapa kejadian
tsunami (Diposaptono, 2005 dan
berbagai sumber). Peristiwa tsunami ini, pernah terjadi di
Kabupaten Sikka-Maumere,
Kabupeten Flores Timur-Larantuka dan Pulau Flores keseluruhan,
Pulau Sumba, Kepulauan Alor dan
Kepulauan Timor-Kupang.
Kabupaten Flores Timur merupakan
salah satu daerah yang pernah dilanda tsunami.
Kabupaten Flores Timur berada
pada Pulau Flores. Sekitar wilayah ini terdapat patahan lempeng
benua dan samudera pada bagian
utara (sesar busur belakang) dan bagian selatan (sesar busur
muka) Pulau Flores. Sesar busur
belakan ini yang sering mengakibatkan gempa dangkal. Patahan
ini dinamakan Patahan Flores.
Kabupaten Flores Timur beribukotakan Larantuka. Berdasarkan
informasi yang diperoleh, tsunami
besar akibat gempa tektonik yang melanda pesisir Kota
Larantuka, yakni pada tahun 1982
dan tahun 1992. Tahun 1982, gempa tektonik ini memiliki
intensitas 5,9 skala richter.
Kerusakan yang terjadi cukup parah karena pusat gempa berada pada
3
laut dangkal flores bagian timur.
Jumlah korban meninggal sekitar 13 jiwa. Kejadian tahun 1992,
memiliki intensitas gempa 7,5
skala richter, dengan maksimal run-up sekitar 26 m. Gempa ini
menguncang seluruh bagian Pulau
Flores. Dampak tsunami terparah terjadi pada Kabupaten Sikka
dan Kabupaten Flores Timur.
Kabupaten Flores Timur sendiri, dampak tsunami yang paling parah
terjadi pada Kecamatan Tanjung
Bunga, yang berada pada bagian ujung timur kabupaten Flores
Timur. Ketinggian gelombang
tsunami mencapai 10-21 m dan mengalir deras deras kedaratan
sejauh 26-660 m. Kerusakan yang
terjadi berupa 200 rumah lenyap, tidak ada rumah yang tersisa,
pohon kelapa rusak berat, 137
penduduk meninggal dari 406 jiwa. Kondisi sekarang penduduk
yang menempati pesisir ini,
membuat permukiman baru di daerah perbukitan dan terjadi perluasan
daerah laut yang dulunya
merupakan bagian dari daratan (BMG Nasional dalam Kompas, 2006 dan
Diposaptono, 2008: 116). Keadaan
ini dibuktikan dengan adanya RTRW Kabupaten Flores Timur
Tahun 2007-2017 & RU-RDTRK
Larantuka Tahun 2007-2017, yang menyebutkan bahwa wilayah
ini rawan tsunami.
Berdasarkan peraturan daerah,
kawasan pesisir pantai dan lereng gunung yang menjadi
kawasan lindung dan menjadi
pemanfaatan sektor kegiatan yang berpotensi. Kawasan pesisir di
Kota Larantuka, diarahkan sebagai
pengembangan pariwisata pesisir. Sektor pariwisata ini
merupakan pengembangan sektor
unggulan di Kota Larantuka. Pemanfaatan pariwisata pesisir
diarahkan sebagai pariwisata yang
bersifat ekowisata (ecotourism), maksudnya bahwa pemanfaatan
pariwisata pesisir berunsur
konservasi dengan menjaga kelestarian ekosistem pesisir. Pemanfaatan
ini sebagai usaha perlindungan
kawasan pesisir Kota Larantuka yang rawan terhadap bencana
tsunami. (RTRW Kabupaten Flores
Timur & RU-RDTRK Larantuka, 2007). Kondisi eksisting,
pesisir Kota Larantuka cenderung
dimanfaatkan sebagai kawasan perumahan dan permukiman,
perkantoran, perdagangan dan
jasa. Kegiatan kawasan pesisir ini tidak diimbangi dengan suatu
tindakan mitigasi kawasan rawan
tsunami. Maka dari itu, bagian pesisir Kota Larantuka rentan
terhadap kerusakan infrastruktur,
korban jiwa, rasa kekhawatiran dan trauma, yang dapat
menciptakan suatu kondisi hidup
yang tidak aman dan nyaman pada lingkungan kota. Pemanfaatan
lahan di pesisir pantai Kota
Larantuka seharusnya sebagai sabuk hijau (green belt) bagi
perlindungan daerah rawan bencana
tsunami.
Kawasan pesisir, yang menjadi
lokasi penelitian, tepatnya berada pada salah satu kelurahan,
yakni di pesisir Kelurahan Weri.
Kota Larantuka yang terdiri dari 14 kelurahan dan 8 (delapan)
desa pesisir yang memiliki
karakter wilayah yang dikelilingi oleh pulau adonara, pulau solor, pulau
lembata dan pulau alor. Kelurahan
Weri yang merupakan kelurahan terujung dari Kota Larantuka
yang berada pada bagian timur
kota. Pesisir Kelurahan Weri menghadap ke Laut Flores, sumber
gempa dangkal biasa terjadi dan
merupakan kawasan pesisir yang berpotensi sebagai daerah pertama di Kota
Larantuka yang terkena gelombang tsunami. Tsunami akan dapat terjadi dari arah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar